Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Anggota Komite BPH Migas Serukan Urgensi Pencarian Produk Pengganti LPG

KOMPAS.com – Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) Yapit Saptaputra mengatakan, saat ini perekonomian dunia belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19.

Terlebih, ketahanan energi Indonesia masih bergantung pada produk impor, baik crude atau bahan bakar minyak (BBM) maupun liquefied petroleum gas (LPG).

“Indonesia masih bersusah payah untuk melepaskan diri dari defisit neraca berjalan karena proses jual belinya masih menggunakan mata uang asing,” sebut Yapi, dikutip dari keterangan persnya, Kamis (29/9/2022).

Ia menjelaskan, saat ini, harga contract price (CP) Aramco untuk bahan baku LPG, yakni propane dan butane sebesar 777 dollar Amerika Serikat (AS) per metric ton (MT).

Harga itu, sebut dia, masih berada di atas asumsi awal perhitungan subsidi BBM tahun 2022, yakni 569 dollar AS per MT dengan nilai subsidi LPG tahun 2022 sebesar Rp 134,7 triliun.

“Pada 2023, kebutuhan LPG 3 kilogram (kg) masih sama dengan tahun 2022, yakni 8 juta MT dengan nilai subsidi Rp 117,4 triliun atau turun 12,4 persen. Sebanyak 80 persen kebutuhan LPG berasal dari impor,” jelasnya.

Produk pengganti LPG

Yapit menyampaikan, konversi minyak tanah pada 2007 berhasil dilakukan untuk menghindari beban subsidi yang seolah tidak ada hasilnya.

Menurutnya, subsidi LPG makin membengkak karena pola distribusinya masih terbuka dan tidak tepat.

Oleh karena itu, kata dia, diperlukan upaya-upaya yang sustainable dalam hal mencari sumber energi untuk masyarakat dengan mengandalkan domestic energy resources.

“Perlu usaha progresif untuk menyediakan energi substitusi bagi masyarakat sesegera mungkin,” tuturnya.

Energi substitusi itu, Yapit menjelaskan, bisa berupa gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai program hilirisasi baru bara, sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

“Pemanfaatan DME sangat mungkin dimanfaatkan untuk menggantikan LPG. DME memiliki sifat-sifat dasar yang tidak terlalu berbeda dengan LPG dan mengubah spesifikasi teknik tabung LPG,” paparnya.

Ia pun mencontohkan proyek gasifikasi yang ada di Kawasan Industri Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel).

Proyek tersebut dikrjakan oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero), dan perusahaan petrokimia asal AS, Air Products & Chemicals Inc (APCI).

Meski sudah berjalan, sebut Yapit, target produksi gasifikasi itu masih cukup lama, yakni pada 2028.

Adapun program lain pengganti LPG adalah kompor induksi yang sejak awal tahun terus digencarkan oleh PT PLN (Persero) dikarenakan adanya kondisi over supply listrik.

“Diperkirakan sekitar 15 juta penambahan rumah tangga akan menggunakan kompor induksi, uji coba sudah dilakukan, tetapi publik dikejutkan dengan dibatalkan program tersebut secara resmi oleh PLN,” ujarnya.

Yapit melanjutkan, sebagai bentuk komitmen Indonesia untuk menekan emisi gas buang dalam rangka mendukung Paris Agreement, perlu ada berbagai persiapan untuk menggeser ketergantungan dari fossil energy menuju renewable energy.

“Jika dikaitkan dengan upaya-upaya menekan subsidi LPG agar sejalan dengan transisi energi, peningkatan gas bumi domestik, khususnya untuk sektor rumah tangga, harus ditingkatkan,” katanya.

Salah satunya, sebut dia, lewat Jaringan Gas (Jargas) Kota sektor rumah tangga. Kebijakan ini merupakan langkah terbaik yang bisa dilakukan pemerintah.

“Pemerintah juga harus mengoptimalkan penggunaan gas bumi untuk rumah tangga sebagai produk substitusi LPG masyarakat,” tuturnya.

Yapit menekankan bahwa Jargas tidak hanya berorientasi pada kalangan yang selama ini menikmati LPG bersubsidi, tetapi juga masyarakat secara umum.

“Pola distribusinya juga diarahkan kepada rumah tangga, bukan perorangan. Upaya kontrolnya akan lebih terkelola lebih baik,” lanjut dia.

Upaya akselerasi pembangunan Jargas

Pembangunan Jargas Kota telah dijalankan oleh PT PGN Tbk beserta anak usahanya sejak 2019 hingga 2021.

Saat ini, PGN sudah melayani 516.720 masyarakat dan 118.718 sambungan rumah (SR) di 18 provinsi serta 64 kabupaten atau kota.

Sebagai kelanjutannya, pemerintah pun telah menugaskan PGN sebagai subholding gas PT Pertamina (Persero) untuk membangun 4 juta SR di seluruh Indonesia hingga 2024. Komitmen ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Meski demikian, rencana itu tidak lepas dari sejumlah tantangan. Salah satunya adalah bagaimana memberikan layanan prima kepada masyarakat secara nonstop.

“(Layanan Jargas) harus diimbangi dengan harga dan kualitas bersaing dengan LPG non-public service obligation (non-PSO),” imbuhnya,

Menurut dia, apabila rencana itu dikembangkan di daerah dengan infrastruktur sudah siap, maka negara tidak akan membutuhkan capital expenditure (capex) yang besar.

“Namun, jika dikembangkan secara merata di 34 provinsi dan 514 kabupaten atau kota, dibutuhkan komitmen dukungan finansial yang sangat besar. Keberhasilan pengembangan program Jargas sangat membutuhkan usaha-usaha yang lintas sektoral,” paparnya.

Ia pun mengusulkan adanya kerja sama antara subholding hulu (SHU) dan subholding gas atau PGN, yakni berupa komitmen alokasi gas bumi untuk Jargas dengan harga khusus.

“Sebaran WK dari SHU Pertamina sendiri (nyaris) tersebar merata se Indonesia, maka sebaran dari Jargas sendiri akan lebih merata dibanding Jargas existing,” ujarnya,

Terlebih, Yapit melanjutkan, penggunaan volume Jargas saat ini sangat kecil, sehingga tidak akan mengurangi nilai ekonomi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) hulu migas dalam mengembangkan lapangan gas.

“Bagi KKKS non-SHU Pertamina, tentu saja dukungan-dukungan seperti ini akan membangun citra positif kepada stakeholder, baik itu di dalam maupun luar negeri,” sambungnya.

Dia menilai, dengan komitmen atas alokasi dan harga, PGN akan memiliki kekuasaan mengembangkan Jargas Kota yang saat ini belum memiliki jaringan pipa distribusi sebagai backbone infrastruktur exsisting Jargas.

Kondisi tersebut, sambungnya, didukung dengan fakta bahwa beyond pipeline merupakan pengembangan lebih jauh atas wilayah-wilayah yang belum ada jaringan pipa distribusi.

Bentuknya adalah perniagaan compressed natural gas (CNG) atau pengembangan perniagaan skala mini liquefied natural gas (LNG).

“(Hal itu) akan sangat membantu SKK Migas dan BPH Migas dalam mengoptimalkan lifting gas bumi untuk peningkatan pemakaian gas domestik,” kata Yapit.

Keberhasilan PGN dalam mengembangkan Jargas secara masif, sebut dia, selain akan mengurangi subsidi LPG, juga akan memberikan profit kepada unit bisnis.

“Utamanya ketika sektor nonrumah tangga, seperti hotel, restoran, dan kafe (horeka) bisa menjadi pengguna Jargas dan terlayani dengan baik,” imbuhnya.

Ia melanjutkan, Jargas untuk sektor rumah tangga dan horeka akan menjadi program favorit karena kemudahan operasional dan efisiensi biaya jika dibandingkan dengan LPG.

“Keuntungan itu tentunya akan menjadi daya tarik tersendiri bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) karena menambah pendapatan asli daerah (PAD) dan bagi badan usaha swasta yang ingin melakukan diversifikasi usaha,” tuturnya.

Lebih jauh, Yapit berujar, penyediaan energi terjangkau dan ramah lingkungan secara berkelanjutan merupakan tanggung jawab pemerintah.

“Oleh karena itu, pengembangan Jargas harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan lintas sektoral,” imbuhnya.

Dia pun menilai bahwa perlu ada leading sector yang bisa memberikan arahan mengenai tata waktu yang jelas yang terukur.

Sebab, menurutnya, Jargas merupakan program konversi LPG yang memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih.

“Modernitas kehidupan layaknya masyarakat di negara maju merupakan bonus tambahan bagi masyarakat yang sudah memilih Jargas,” ucap Yapit.

https://money.kompas.com/read/2022/10/03/095314626/anggota-komite-bph-migas-serukan-urgensi-pencarian-produk-pengganti-lpg

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke