Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Drama Pelarangan KRL Impor

Sudah banyak sarana KRL yang stamformasi 8 atau 8 unit (SF8) dalam 1 rangkaian (1 trainset). Hal tersebut rangkaiannya dikurangi (dipotong) karena memang jumlah sarananya rusak atau jumlah sarana KRL-nya kurang.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan, impor KRL bukan baru (bekas) ditolak karena alasannya tidak memenuhi barang impor sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2021.

Kubu antar lini sektoral yang berpolemik dapat dipilahkan antara pro dan kontra impor KRL bukan baru. Pihak yang pro impor sarana KRL bukan baru adalah DPR Komisi V, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), operator KRL (KCI/KAI), dan pelanggan KRL (penumpang).  Pphak yang kontra impor adalah Kementerian Perindustrian (Kemenperin)/Kementerian Perdagangan (Kemendag), DPR Komisi VI, dan BPKP.

Bagi yang kontra mempermasalahkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) 40 persen, diharapkan ada produksi dalam negeri di INKA. Kenyataan ini dapat diekstrapolasikan lagi sebagai perseteruan antara sektor transportasi dengan sektor perindustrian.

Pandangan dan Saran

Ada beberapa pandangan dan saran terkait hal tersebut di atas:

01. Khitah transportasi umum adalah pelayanan yang berdasarkan atas standar pelayanan minimal kereta api (SPM KA), yang terdiri dari enam komponen, yakni keselamatan, keamanan, kenyamanan, kehandalan, kemudahan, dan kesetaraan.

Kepentingan TDKN tidak berlaku di sektor transportasi. Hal yang diutamakan dalam pelayanan angkutan umum itu adalah ketersediaan SPM tersebut.

02. Bila nantinya tetap dilarang impor KRL bukan baru, berarti sektor perindustrian yang mengatur di sektor transportasi. Persoalan itu terbalik. Sejatinya sektor transportasi yang mengatur perindustrian mengenai ketersediaan sarana transportasi yang sesuai SPM KA.

03. Di sektor transportasi massal tidak dapat dibedakan dengan TKDN barang-barang konsumsi seperti elektronik (HP, TV, Laptop, kulkas dan lain-lain) karena kebutuhan privat.

Hal ini berbeda dengan moda kereta api sebagai transportasi umum massal merupakan kewajiban pemerintah untuk penyediaan angkutan umum. Sesuai peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah berkewajiban menyediakan transportasi umum, sehingga ada jaminan ketersediaan sarana angkutan umum termasuk sarana KRL.

04. Audit BPKP mengenai ridership belum ada 100 persen, masih 62,75 persen dan perlu dihitung lagi secara cermat dan adil. Ketika peak time bahkan dapat mencapai keterisian 300 persen.

Maka, perlu penambahan rangkaian KRL atau perjalanan KRL ketika peak time. Sampai saat ini kita masih kekurangan banyak sarana KRL.

05. Semua stakeholder mempunyai kepentingan modal share angkutan umum dapat mencapai lebih banyak, target Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) 60 persen di tahun 2029.

Sementara berdasarkan riset Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration  (JUTPI) tahun 2019, pengguna angkutan umum kita masih 9 persen di 2018, masih sangat minim. Bila sarana KRL tidak bertambah banyak tentunya akan tetap stagnan di kisaran 9-15 persen pengguna angkutan umum di Jabodetabek, sementara lalu lintas di jalan raya semakin padat dan macet.

06. Di tahun 2023 terdapat kebutuhan peremajaan 10 rangkaian KRL Jabodetabek dan 19 rangkaian pada 2024 yang harus dipensiunkan. Artinya ada 29 trainset sarana KRL yang harus cepat digantikan (replacement) supaya tidak mengganggu pelayanan dengan pengurangan jumlah perjalanan kereta api. Bila tidak ada peremajaan segera, dikhawatirkan akan berdampak terlantarnya penumpang KRL karena tidak semua penumpang terangkut.

07. Rencana pertama, PT INKA & PT KAI/KCI telah kontrak sebanyak 16 trainset dengan nilai hampir Rp 4 triliun dengan 192 unit sarana KRL yang dikirim pertama pada tahun 2025. Namun masih ada masalah kekurangan KRL untuk replacement selama dua tahun, yakni 2023 & 2024. Maka, sebagai rencana kedua harus ada impor KRL Jepang yang telah terbukti kehandalannya sejak kita pakai KRL bukan baru sejak tahun 2000 hingga kini.

08. Bila saran BPKP untuk PT KCI melakuan retrofit juga termasuk mahal 50 - 60 persen dari biaya baru Rp 20 miliar, namun belum ada jaminan kehandalanya. Waktu proses retrofit paling cepat 16 bulan, lalu mau dikemanakan penumpang KRL menunggu selama 16 bulan proses retrofit.

09. Pengadaan KRL baru seharga Rp 20 miliar ( selama tiga tahun) atau retrofit seharga Rp 10-20 miliar ( selama 16 bulan) dan impor KRL bukan baru seharga Rp 1,6 miliar (selama 6 bulan). Bila kita beli baru atau retrofit akan berdampak ke struktur tarif.

Konsekuensinya tarif pelayanan akan lebih mahal karena biaya penyusutan keuangan yang tinggi di KCI. Masalah tarif KRL adalah hal sensitif, jika tidak ada kenaikan tarif KRL, maka resiko tetap di pemerintah, yakni makin bengkaknya nilai public service obligation (PSO) atau subsidi.

10. KRL bukan baru asal Jepang bukan rongsokan yang tidak layak guna tetapi kebalikannya produk Jepang jauh lebih berpengalaman dan lebih berselamatan dalam mitigasi resiko perjalanan. Adalah rasional bila kita harus cepat impor KRL, karena telah ada beberapa KRL Jabodetabek yang rusak karena telah beroperasi selama 15 tahun lebih.

11. Polemik dan perdebatan ini harus segera diakhiri karena kita malah melupakan pelayanan transportasi umum sesungguhnya, mengenai jaminan ketersediaan KRL yang handal dan cepat.

Harus ada penyelesaian cepat secara politis dari pemerintah seperti KA Cepat Jakarta-Bandung karena tanpa TKDN pun bisa masuk di Indonesia. Demand penumpang KRL sudah terbentuk jangan sampai blunder karena ketidaktersedianya sarana KRL di tahun politis tahun depan.

https://money.kompas.com/read/2023/04/11/160811326/drama-pelarangan-krl-impor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke