Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tambang Nikel dan Dampak Deforestasi

Secara regulasi, semua kegiatan pertambangan dalam kawasan yang legal harus patuh dan tunduk dengan undang-undang (UU) tentang kehutanan.

Aturan tersebut, yakni UU No. 5/1967 yang direvisi UU No. 41/1999 dan kemudian disempurnakan dengan UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang Kehutanan berserta turunannya dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) maupun peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK).

Secara regulasi, pertambangan legal diizinkan/diperbolehkan dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Khusus untuk kegiatan pertambanagan di kawasan hutan lindung diperbolehkan/diizinkan, namun dilaksanakan secara selektif.

Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan, dilarang.

Dalam Pasal 38 ayat (1) UU no. 41/1999 disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

Kegiatan pembangunan nonkehutanan yang dimaksud adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jalan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan.

Mekanisme yang ditempuh dalam kegiatan pertambangan termasuk pertambangan nikel dalam kawasan hutan adalah melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dengan syarat dan ketentuan dalam turunan UU (PP maupun Permen) dan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Begitu strategisnya kegiatan pertambangan di kawasan hutan dalam memberikan dan menyumbang pendapatan negara, sampai–sampai pada tahun 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menganulir UU No. 41/1999 dengan Perpu Nomor 1/2004 pada 11 Maret 2004, untuk menyelesaikan tumpang-tindih areal pertambangan dengan hutan lindung sekaligus mengakomodasi izin tambang bagi 13 perusahaan untuk melanjutkan kegiatan produksinya.

Perpu ini dibuat dalam rangka memberi kepastian kepada investor karena pada 2004 merupakan tahun investasi.

Perpu tersebut menambah ketentuan baru dalam UU 41/1999, terutama pasal 83a. Dalam pasal itu disebutkan semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999, tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Jadi, ekspansi nikel besar-besaran yang dikembangkan pemerintah Indonesia yang dikhawatirkan akan memicu deforestasi hingga mencapai 25.000 hektar di berbagai wilayah di Indonesia (Kompas, 14/7/2023); sebenarnya bermakna ganda.

Di satu sisi, secara regulasi pembukaan tambang secara besar-besaran sah-sah saja karena melalui mekanisme sah dan deforestasi yang akan terjadi sudah diperhitungkan dari awal perizinan (deforestasi legal).

Namun di sisi lain, kekhawatiran peneliti LSM Auriga Nusantara- Dedy Sukmara- tentang masifnya pengembangan kendaraan listrik yang dipandang sebagai kendaraan transportasi ramah lingkungan justru berpotensi mengancam kelestasrian hutan alam- ada benarnya juga.

Sebab, ekspansi pertambangan nikel untuk kebutuhan bateri kendaraan listrik telah menyebabkan deforestasi di berbagai wilayah di Indonesia.

Perizinan pertambangan nikel hingga 2023 berada di urutan kedua setelah emas dengan luas hampir 900.000 hektar (ha). Entitas pertambangan nikel menjadi yang terbanyak dengan jumlah 319 perizinan.

Data terakhir dari Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM) menunjukkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia.

Status tahun 2023, sumber daya nikel di Indonesia 17, 33 miliar ton dengan cadangan 5,03 miliar ton.

Konstelasi Tambang Dalam Kawasan Hutan Berdasarkan pemetaan tutupan tambang tahun 2000-2022 yang dilakukan Auriga, secara keseluruhan luas lubang pertambangan di Indonesia cenderung mengalami tren kenaikan.

Luas tambang nikel untuk nikel juga meningkat secara signifikan sejak 2011. Analisis Auriga juga menunjukkan secara kumulatif dalam 20 tahun terakhir, sebanyak 24,811 hektar lahan hutan dibuka karena pertambangan nikel.

Deforestasi akibat pertambangan nikel ini paling besar terjadi pada 2012 dengan luas 4000 hektar. Deforestasi terjadi di berbagai wilayah, antara lain Maluku Utara, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

Ekspansi ini menimbulkan kekhawatiran terkait kondisi hutan alam yang terdapat di dalam konsesi pertambangan nikel seluas 560.000 hektar.

Wilayah hutan alam dalam konsesi nikel terbesar berada di Sulawesi Tengah, yakni lebih dari 200.000 hektar.

Dalam “The State of Indonesia’s Forest (SOFO) 2020” yang terbit Desember 2020, luas hutan Indonesia menyusut tinggal 120,3 juta hektar, yang terdiri dari 22,9 juta hektar hutan konservasi, 29,6 juta hektar hutan lindung, 26,8 juta hektar hutan produksi terbatas, 29,2 juta hektar hutan produksi biasa, dan 12,8 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi.

Dari luas 120,3 juta hektar tersebut, yang tidak mempunyai tutupan hutannya (non forested) seluas 33,4 juta hektar yang terdiri dari hutan konservasi 4,5 juta hektar, hutan lindung 5,6 juta hektar, dan hutan produksi 23,3 juta hektar.

Nah, konsesi pertambangan yang telah hilang tutupan hutannya seluas 24.811 hektar masuk dalam kawasan hutan seluas 33,4 juta hektar yang terbuka (tidak berhutan), khususnya di wilayah hutan lindung dan hutan produksi.

Kekhawtiran akan meluasnya deforestasi akibat dari dampak peningkatan izin pertambangan, khususnya pertambangan nikel sebenarnya telah diantipasi oleh pemerintah melalui regulasi terbaru turunan dari UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan, yakni PP No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan.

Dalam PP ini Pasal 4i disebutkan bahwa Menteri LHK menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan berdasarkan kondisi fisik dan geografis pada luas DAS, pulau, dan/atau provinsi dengan sebaran yang proporsional.

Artinya, seluruh kawasan di Indonesia dibagi berdasarkan wilayah DAS/pulau/provinsi, kemudian dihitung satu per satu luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya oleh KLHK dan ditetapkan dalam surat keputusan oleh Menteri LHK.

Jadi izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan dan kegiatan nonkehutanan lainnya, pengendalian tutupan hutan alamnya dapat dipantau dan dikendalikan dari penetapan luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya yang diterbitkan Menteri LHK bagi masing-masing provinsi.

Sayangnya hingga hari ini, KLHK belum ada tanda-tanda menerbitkan surat keputusan penetapan yang dimaksud.

Kapan perhitungan kecukupan luas hutan dan tutupan hutan akan diselesaikan oleh KLHK, khususnya untuk daerah yang membutuhkan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan seperti di P. Jawa dan Pulau Sumatera?

Apalagi sejak adanya akses jalan tol di Sumatera dan Jawa akan membuka pertumbuhan ekonomi kawasan di sekitarnya.

Dari data yang ada, wilayah Indonesia terdiri dari 458 daerah aliran sungai (DAS) yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dari jumlah tersebut, 60 DAS di antaranya dalam kondisi kritis berat, 222 termasuk kategori DAS kritis dan 176 DAS lainnya berpotensi kritis akibat alih fungsi lahan yang membuat penyangga lingkungan itu, tidak berfungsi optimal.

Sedangkan jumlah provinsi di Indonesia sebanyak 34 daerah provinsi dan jumlah pulau dengan ukuran sedang hingga kecil sebanyak kurang lebih 13.466 pulau selain lima pulau besar, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

Mampukah pemerintah dalam hal ini KLHK, menghitung luas kecukupan hutan dan tutupan hutan pada 60 DAS kritis berat dan 222 DAS kritis serta 34 daerah provinsi dengan beberapa pulaunya yang dianggap penting, dalam tempo dan waktu yang sesingkat-singkatnya untuk mendukung UU Cipta Kerja dalam menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya?

Ketentuan Teknis Pertambangan Dalam Kawasan Hutan PP no. 23/2021 juga mengatur persyaratan teknis pertambangan dalam kawasan hutan produksi dengan ketentuan : a) penambangan dengan pola pertambangan terbuka; dan/atau b) penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah.

Sedang untuk kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan penambangan dengan pola pertambangan bawah tanah dengan ketentuan dilarang mengakibatkan: a) turunnya permukaan tanah; b) berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen; dan/atau c) terjadinya kerusakan akuifer air tanah.

Persetujuan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan non ehutanan termasuk pertambangan dapat dilakukan pada provinsi yang terlampaui kecukupan luas kawasan hutannya; dan/atau pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya.

Persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang terlampaui kecukupan luas kawasan hutannya wajib membayar PNBP penggunaan kawasan hutan.

Sementara persetujuan penggunaan kawasan hutan pada provinsi yang kurang kecukupan luas kawasan hutannya wajib membayar PNBP penggunaan kawasan hutan dan membayar PNBP kompensasi.

Pemegang persetujuan penggunaan kawasan hutan wajib melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang diberikan persetujuan penggunaan kawasan hutan yang sudah tidak digunakan.

Berdasarkan persetujuan penggunaan kawasan hutan termasuk pertambangan, pemegang persetujuan dapat melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan membayar PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan) dan/atau DR (Dana Reboisasi) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Jadi kesimpulannya jelas bahwa secara regulasi pertambangan nikel yang kian masif dan luas tidak perlu dikhawatirkan karena payung hukumnya sudah lengkap dan mencukupi. Yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan di lapangan.

Meskipun regulasinya telah cukup baik dan kuat, namun apabila pengawasannya lemah, penyimpangan pasti banyak terjadi.

Pengawasan lemah

Pengawasan kehutanan terkenal sangat lemah di tingkat tapak/lapangan. Pengawasan kehutanan lemah disebabkan banyak hal. Tiga di antaranya adalah:

Pertama, pembagian kewenangan. Menurut UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah, urusan pengawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah pusat dan kewenangannya tidak dilimpahkan provinsi, apalagi kabupaten.

PP 23/2021 menyebut gubernur melakukan pengawasan kehutanan hanya meliputi sub urusan pengelolaan hutan, konservasi sumber daya alam hayati, pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).

Sementara untuk daerah kabupaten/kota, tidak satu pun kewenangan di bidang kehutanan, kecuali mengelola taman hutan raya di wilayahnya.

Dalam ilmu manajemen modern, untuk memperoleh pengawasan yang efektif apabila rentang kendali ada pada dua tingkat di bawahnya. Pemerintah pusat terlalu jauh kewenangannya mengawasi hutan yang ada di tapak.

Kedua, rentang kendali. Menurut PP 62/1998, pemerintah kabupaten bisa mengurus hutan lindung. Kegiatannya berupa pemancangan batas, pemeliharaan batas, mempertahankan luas dan fungsi, pengendalian kebakaran, reboisasi/reforestasi, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Dengan terbitnya UU 23/2014, kewenangan mengurus hutan lindungi mestinya kembali ke pusat lalu diserahkan kepada provinsi sebagaimana manajemen taman hutan raya yang berada di dua kabupaten.

Pengawasan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten menjadi titik terlemah. Pemerintah kabupaten memanfaatkan wewenangnya dengan memberikan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung untuk tujuan ekonomi.

Masalahnya, ketika ditarik kembali ke pusat, pengawasannya juga sama lemahnya karena rentang kendali jadi jauh dan panjang.

Ketiga, jumlah jagawana terbatas. Polisi kehutanan di seluruh Indonesia sekitar 7.000 orang, tidak sebanding dengan luas kawasan hutan 125,2 juta hektare.

Artinya, 1 jagawana menjaga 18.000 hektare kawasan hutan. Idealnya seorang jagawana hanya menjaga 500-1000 hektare. Sehingga jumlah ideal polisi hutan seharusnya 125.000 orang.

Jumlah pengawas kehutanan lebih tidak memadai lagi. Akibatnya, pengawasan hutan menjadi lemah dan okupasi atau penyerobotan kawasan hutan menjadi problem menahun di Indonesia.

Belum lagi jika kita bicarakan sarana dan prasarana untuk mendukung kerja mereka.

https://money.kompas.com/read/2023/07/17/160000726/tambang-nikel-dan-dampak-deforestasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke