Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jawab Kritikan Faisal Basri soal Hilirisasi Nikel, Stafsus Sri Mulyani: Anda Keliru!

Faisal menyebut nilai tambah yang mengalir ke perekonomian nasional dari kebijakan hilirisasi nikel tak lebih dari sekitar 10 persen saja. Lantaran hampir semua perusahaan smelter nikel di Indonesia 100 persen dimiliki oleh pengusaha China.

Melalui akun Twitter-nya @prastow, Yustinus menilai pernyataan Faisal tersebut keliru. Lantaran, negara mendapatkan pemasukan dari kebijakan hilirisasi baik itu melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam maupun royaltinya.

"Saya jawab satu hal dulu, PNBP dan royalti. Anda (Faisal) keliru ketika bilang tidak ada pungutan karena faktanya melalui PP 26/2022 diatur tarif PNBP SDA dan royalti atas nikel dan produk pemurnian," ujarnya dikutip Kompas.com, Minggu (13/8/2023).

Ia menjelaskan, pengenaan tarif royalti dibedakan menjadi dua jenis, yakni untuk izin usaha pertambangan (IUP) yang hanya memproduksi menjual bijih nikel sebesar 10 persen, dan untuk IUP yang memiliki smelter sehingga produknya feri nikel atau nikel matte sebesar 2 persen.

"Royalti memang pungutan yang secara konsep dan aturan dikenakan terhadap eksploitasi sumber daya alam. Ini berlaku umum. Untuk ijin usaha industri, pungutannya tentu bukan royalti, melainkan bea keluar (saat impor) dan pajak2 lain (PPh, PPN, pajak daerah, dan lain-lain)," papar Yustinus.

Terkait penerimaan perpajakan, lanjutnya, berdasarkan data Ditjen Pajak Kemenkeu, pendapatan negara dari perusahaan smelter melonjak signifikan yakni dari Rp 1,65 triliun di 2016 menjadi Rp 17,96 triliun di 2022. Nilai itu naik 11 kali lipat.

"Jika digunggung untuk industri smelter dan besi baja secara keseluruhan, juga terjadi peningkatan penerimaan, dari Rp 7,9 triliun (2016) menjadi Rp 37,3 triliun atau naik hampir 5x lipat!," katanya.

Yustinus mengatakan, data-data tersebut sekaligus membantah pernyataan Faisal bahwa seolah-olah Indonesia tidak mendapatkan apa-apa dari kebijakan hilirisasi.

"Ada pendapatan PNBP SDA dan royalti saat eksploitasi. Juga pajak daerah dan dampak pengganda yan dinikmati pemda dan masyarakat setempat," ucap dia.

Sebelumnya, Faisal melalui blog pribadinya faisalbasri.com mengkritik kebijakan hilirisasi pemerinyah yang dinilai hanya untungkan China. Salah satu yang disorotinya yakni apakah uang hasil ekspor dari produk hilirisasi tersebut mengalir ke Indonesia.

Hal ini mengingat hampir semua perusahaan smelter pengolah bijih nikel 100 persen dimiliki oleh China, dan Indonesia menganut rezim devisa bebas.

"Maka adalah hak perusahaan China untuk membawa semua hasil ekspornya ke luar negeri atau ke negerinya sendiri," tulisnya dalam blog yang dikutip Kompas.com, Jumat (11/8/2023).

Menurut dia, kondisi itu berbeda dengan ekspor sawit dan turunannya yang dikenakan pajak ekspor atau bea keluar plus pungutan berupa bea sawit. Sedangkan untuk ekspor olahan bijih nikel sama sekali tidak dikenakan segala jenis pajak dan pungutan lainnya.

"Jadi penerimaan pemerintah dari ekspor semua jenis produk smelter nikel nihil alias nol besar," ungkapnya.

Faisal juga menyoroti para perusahaan smelter China yang tidak membayar royalti. Justru yang membayar royalti adalah perusahaan penambang nikel, yang hampir semua adalah pengusaha nasional.

Ia menekankan, pada dasarnya dirinya mendukung industrialisasi, tetapi menolak mentah-mentah kebijakan hilirisasi nikel dalam bentuknya yang berlaku sekarang. Menurutnya, kebijakan hilirisasi saat ini ugal-ugalan sehingga sangat sedikit meningkatkan nilai tambah nasional.

"Nilai tambah yang tercipta dari kebijakan hilirisasi dewasa ini hampir seluruhnya dinikmati oleh China dan mendukung industrialisasi di China, bukan di Indonesia," kata dia.

https://money.kompas.com/read/2023/08/14/050500226/jawab-kritikan-faisal-basri-soal-hilirisasi-nikel-stafsus-sri-mulyani--anda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke