Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Menyoal Dinamika Patologis Gen Z

Sebagian Gen Z tidak saja berhasil menjadikan internet dan media sosial sebagai instrumen untuk unjuk diri demi popularitas pribadi (panjat sosial - pansos), tapi juga ajang kreatifitas dan softskill digital yang tidak dimiliki generasi sebelumnya.

Seperti kreasi konten-konten yang bisa dimoneteisasi di media sosial alias bisa mendatangkan penghasilan dengan nominal sangat menggiurkan.

Pun kepemilikan softskill digital yang sangat membantu mereka dalam mendorong terjadinya reformasi performa digital berbagai perusahaan di mana mereka bekerja.

Kemampuan digital yang mereka miliki juga didukung fondasi pendidikan yang cukup kuat. Kemudahan akses infomasi yang bisa tersaji langsung ke layar ponsel membuat Gen Z memiliki informasi lebih dari yang diberikan oleh institusi pendidikan di mana mereka menimba ilmu.

Tak lupa, sumber-sumber informasi tersebut juga tidak monoton, karena bisa berasal dari mana saja alias dari belahan bumi mana saja.

Hal itu bisa terjadi karena dukungan fitur-fitur alih bahasa dari berbagai aplikasi digital yang lagi-lagi bisa hadir langsung di layar ponsel. Apalagi, Gen Z adalah generasi yang paling banyak memiliki ponsel.

Hasil penelitian Nielsen Media tahun 2019 menunjukkan bahwa kepemilikan smartphone dalam Gen Z saat itu mencapai 86 persen, lebih banyak dibanding generasi terdahulunya.

Gen Z juga tercatat menjadi generasi yang paling sering menggunakan internet terutama melalui smartphone. Waktu berinternet mereka minimal 4 jam sehari.

Secara indeks, konsumsi internet dari Gen Z mencapai 122. Sedangkan generasi Milenial rentang usia 27-42 tahun menduduki urutan kedua, yaitu 119.

Lalu, generasi X yang usianya 40-54 tahun, indeks penggunaan internetnya hanya 84, dan generasi Baby Boomers usia di atas 55 tahun, indeks interaksinya dengan internet hanya 37.

Jadi memang tak terlalu mengherankan jika generasi Z adalah generasi yang paling banyak menerima manfaat dari penggunaan gadget dan internet.

Mayoritas Gen Z memiliki ponsel yang memiliki akses internet tidak terbatas di satu sisi dan telah ditempa dengan berbagai kemampuan digital di sisi lain, yang biasanya didapat secara otodidak selama menggunakan gadget.

Patologis Gen Z

Namun kreativitas digital yang tak berbatas tersebut hanya satu sisi dari mata uang yang meliputi kehidupan generasi Z.

Kemudahan akses internet via ponsel juga mempertemukan Gen Z dengan konten-konten advertorial yang acapkali merongrong konsumerisme berlebihan.

Walhasil, aspirasi untuk merespons rayuan-rayuan konsumerisme tersebut membuat sebagian Gen Z melakukan keputusan berbelanja barang atau jasa yang sebenarnya tidak ditopang oleh pendapatan riil mereka.

Celakanya, celah tersebut kemudian diisi platform-platform digital yang menawarkan jasa peminjaman uang atau PayLater, yang bisa diakses dengan cepat dan mudah.

Karena nyatanya terdapat disparitas pendapatan dan tingkat konsumsi yang mereka lakukan, maka Gen Z hari ini menjadi generasi yang paling banyak dijangkiti patologi finansial, yakni kredit macet pada perusahaan-perusahaan pinjol.

Berdasarkan Data Statistik Fintech Lending Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2023, nilai outstanding pinjaman macet lebih dari 90 hari mencapai Rp 1,73 triliun pada akhir semester I/2023.

Nilai tersebut naik signifikan sebesar 54,90 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, senilai Rp 1,12 triliun.

Begitu pula dengan rekening penerima pinjaman aktif di pinjaman macet lebih dari 90 hari yang melonjak 51,94 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) dari 395.778 entitas menjadi 601.338 entitas.

Masalahnya, menurut OJK, jika dirinci, kelompok usia di rentang 19 tahun hingga 34 tahun, atau sebagian besar masuk kategori Gen Z, mencatatkan pinjaman macet pinjol paling besar, yakni senilai Rp 763,65 miliar atau menyumbang porsi sekitar 44,14 persen.

Persentase kenaikan pinjaman macet pada Gen Z ini, menurut OJK, adalah sebesar 68,87 persen.

Sementara pada layanan Paylater, menurut data PT Pefindo Biro Kredit (IdScore), tren kredit macet paylater di semester I/2023 terus meningkat sejak Januari 2023. Total outstanding yang masuk kategori kredit macet sebesar Rp 2,15 triliun per Juni 2023.

Pada semester I/2023, total outstanding amount paylater mencapai Rp 25,16 triliun, naik 29,8 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) atau naik 3,52 persen secara mtm.

Namun menurut IdScore, kalangan yang mendominasi kredit macet paylater justru berasal dari usia di bawah 30 tahun, terutama Gen Z.

Tidak sampai di situ. Dari sisi bisnis dan investasi, Gen Z juga melakukan lompatan yang justru cukup membahayakan.

Keputusan berinvestasi Gen Z melompati asas-asas konvensional dunia bisnis, seperti asas kehati-hatian dan ketelitian. Walhasil, Gen Z cenderung memasuki dunia investasi yang berisiko tinggi.

Lima puluh lima persen investor Gen-Z di Amerika Serikat saat ini berinvestasi di cryptocurrency, demikian menurut laporan bersama Finra-CFA Institute.

Hal tersebut bisa terjadi karena perusahaan-perusahaan yang menjajakan layanan perdagangan cryptocurrency menjadikan ponsel sebagai instrumennya.

Tidak diperlukan prosedur resmi yang berbelit-belit untuk ikut berpartisipasi. Sehingga, layaknya Pinjol dan Paylater, Gen Z lagi-lagi menjadi target empuk sebagai pasar utama, tanpa mendapatkan detail risiko secara mendalam terlebih dahulu.

Meskipun mudah, masalahnya cryptocurrency adalah investasi yang sangat berisiko, jauh melebihi risiko instrumen investasi finansial konvensional lainnya, seperti saham atau Reksadana.

Pasalnya, cryptocurrency tidak memiliki landasan fundamental bisnis yang menjadi basis utama fluktuasi harganya, sehingga lebih sering dijadikan instrumen oleh oknum-oknum pemilik perusahaan cryto untuk mengelabui dana nasabahnya, ketimbang sebagai instrumen untuk mendatangkan keuntungan.

Dengan kata lain, crypto pada akhirnya lebih mirip "judi online" ketimbang investasi untuk mendapatkan keutungan. Risiko lanjutannya tentu sudah bisa diprediksi.

Jika Gen Z mengalami situasi "apes" akibat investasi crypto, di saat pendapatan mereka tak mampu menutupinya, maka pinjaman online akan kembali menjadi solusi cepat untuk menutupnya.

Terakhir, yang juga tak kalah patologisnya, adalah tingkat keterlibatan Gen Z dalam aktifitas prostitusi online.

Lagi-lagi instrumen intermediasinya adalah aplikasi yang memang diperuntukkan untuk ponsel, yakni aplikasi "chatting" Michat, yang sudah sering kali menjadi aplikasi perantara prostitusi online yang dibongkar oleh aparat kepolisian selama ini.

Berdasarkan data SimilarWeb, secara global situs MiChat telah berhasil menarik 114.300 kunjungan pada Oktober 2022. Namun mayoritas pengunjung MiChat berasal dari kelompok usia 18-24 tahun alias Gen Z, dengan persentase sebesar 37 persenan.

Namun celakanya, menurut SimilarWeb, Indonesia menempati peringkat teratas sebagai negara pengguna MiChat terbesar secara global, yakni 83,37 persen, selain Perancis (5,96 persen), Argentina (4,25 persen), Malaysia (2,52 persen), dan Amerika Serikat (2,19 persen). Artinya, supermayoritas pengguna MiChat justru ada di Indonesia.

Alasan primer prostitusi online, terutama dari segmen Gen Z, tak lain adalah keuangan. Hasrat ingin memiliki berbagai macam barang sebagai perlambang kehidupan modern menjadi "driver" utamanya, mulai dari kepemilikan gadget, fashion, sampai keinginan untuk travelling ke berbagai lokasi yang viral di media sosial.

Keinginan untuk mendapatkan uang dengan cara cepat ini tidak berbeda dengan keputusan Gen Z untuk ikut berinvestasi di instrumen cryptocurrency, yang juga menjanjikan keuntungan tinggi dan cepat, tapi melupakan risiko yang juga tinggi.

Pun menjadi alasan yang melatari keputusan mereka dalam meminjam uang kepada platform-platform Pinjol, yakni mendapatkan uang cepat, tapi soal pelunasan urusan belakangan.

Pendeknya, berbagai dinamika patologis di atas harus dicarikan solusinya segera, agar tidak merusak masa depan mayoritas Gen Z, generasi yang akan mewarisi negeri ini di puncak keemasannya tahun 2030-2045.

Kerja sama antarinstitusi yang digawangi keluarga, institusi pendidikan, institusi keagamaan, dan lembaga-lembaga pemerintah terkait sangatlah diperlukan dan mendesak untuk meminimalisasi patologi-patologi di atas, mulai dari soal Pinjol, Crypto, dan prostitusi online yang menerpa Gen Z.

Literasi keuangan untuk generasi muda harus dimulai dari rumah, disisipkan di sekolah, dan disosialisasikan secara masif oleh Kemenkominfo, OJK, dan lembaga terkait.

Pun aturan tentang pinjol, mulai dari aturan teknis yang mengatur secara ketat akses kredit online sampai pada aturan pengamanan data pribadi nasabah, harus dibuat terang benderang dan tegas.

Begitu pula dengan syarat-syarat beroperasinya pinjol haruslah sangat berat dan ketat, seperti aturan yang diterapkan kepada institusi perbankan.

Kemudian, keberadaan instrumen investasi cryptocurrency harus diatur secara ketat dan detail, baik syarat-syarat maupun sanksi-sanksinya.

Pasalnya, instrumen investasi yang satu ini sangat berisiko, karena tidak memiliki "underlying" bisnis layaknya saham atau Reksadana, sehingga sangat mudah dijadikan instrumen untuk mengeruk dana nasabah secara cepat dan mudah.

Terakhir, aturan tentang aplikasi-aplikasi yang justru merongrong terjadinya prostitusi online harus segera dibuat, layaknya aturan tentang judi online.

Jika Kemenkominfo bisa melakukan perang terhadap situs-situs judi online, maka seharusnya juga bisa tegas terhadap aplikasi yang mengintermediasi terjadinya prostitusi online. Semoga!

https://money.kompas.com/read/2023/09/13/064809026/menyoal-dinamika-patologis-gen-z

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke