Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tekanan Ekonomi Global dan Ancaman Inflasi

Bahkan Presiden Jokowi ikut memberikan prediksinya bahwa harga minyak dunia berpotensi menembus level 150 dollar AS per barel.

Dari sisi moneter, The Fed atau Bank Sentral Amerika sudah sejak lama menebar ancaman kepada ekonomi dunia dengan kebijakan penaikan suku bunga Bank Sentral Amerika, yang selama ini telah terbukti melemahkan hampir semua mata uang di dunia, tak terkecuali rupiah.

Perpaduan tekanan dari kenaikan harga minyak dunia dan kenaikan suku bunga The Fed membuka peluang kebijakan tak populis di Indonesia.

Kenaikan harga minyak akan membuat pemerintah berhitung ulang atas harga jual BBM dalam negeri, lalu menghasilkan inflasi tinggi.

Sementara kenaikan suku bunga The Fed akan menekan rupiah, lalu memaksa Bank Indonesia untuk melakukan hal yang sama.

Terbukti, rupiah sudah nyaris menembus level Rp 16.000 per dollar AS dan suku bunga akhirnya naik ke level 6 persen.

Tentu tak terelakan, ancaman inflasi sudah di depan mata. Memang harga BBM belum disesuaikan. Namun, importir sudah mulai membayar barang yang mereka impor dengan harga dollar AS hari ini.

Artinya, semua barang yang diimpor akan menghasilkan harga jual yang disesuaikan dengan nilai tukar baru. Jadi inflasi akan tetap menghantui secara perlahan.

Inflasi tinggi akan berdampak pada pengeluaran dan daya beli masyarakat. Semakin tinggi inflasi, semakin besar nominal pengeluaran masyarakat yang dikeluarkan untuk volume atau jumlah barang yang sama.

Dalam bahasa ekonomi, jika Consumer Price Index (inflasi) naik terlalu tinggi dan dalam rentang waktu yang agak panjang, maka akan ikut menaikan Personal Consumer Expenditure Price Index (PCE-PI) atau menambah pengeluaran masyarakat untuk jumlah barang atau jasa yang sama.

Imbasnya, bagi masyarakat kelas menengah yang berpenghasilan tetap dengan kisaran upah minimum, kondisi tersebut akan mempersulit kehidupan sehari-hari mereka karena di sisi lain pendapatan mereka justru tidak naik atau bertambah.

Lebih jauh lagi, kondisi tersebut akan semakin memperburuk kehidupan masyarakat kelas bawah yang pendapatannya tidak pasti setiap bulan, apalagi segmen masyarakat yang benar-benar tidak bekerja sama sekali alias menganggur.

Kemudian, jika inflasi terlalu tinggi, masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan (poverty line) akan terdorong turun ke bawah garis kemiskinan.

Dengan kata lain, inflasi yang terlalu tinggi bisa berimbas langsung pada peningkatan angka kemiskinan, baik secara nasional maupun di tingkat lokal.

Karena itu, pemerintah melalui kementerian dan lembaga terkait harus segera mengambil sikap tegas dengan parameter-parameter yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan secara ekonomi.

Secara teknis, pemerintah harus segera menyeimbangkan permintaan dan penawaran untuk komoditas-komoditas pokok yang harganya naik tinggi di satu sisi, terutama beras dan bahan pokok lainya.

Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga terkait segera melakukan operasi pasar terbuka untuk komoditas-komoditas pokok yang harganya naik terlalu tinggi, dengan volume yang besar dan tawaran harga yang moderat atau sesuai harga sebelum inflasi, agar pelaku pasar pelan-pelan bisa menyesuaikan harga komoditas pokok dengan harga yang diharapkan pemerintah.

Kedua memastikan pasokan terjaga secara aman dan berkelanjutan. Elnino yang melanda Indonesia sejak beberapa bulan lalu, menyebabkan banyak kasus gagal panen, lalu membuat supply dalam negeri menurun drastis.

Impor tak terelakan. Untuk itu, kepastian pasokan memang harus dijaga, tapi jangan sampai menyakiti ekonomi para petani kita.

Selanjutnya, pernyataan Jokowi soal potensi harga minyak dunia naik sampai ke level 150 dollar AS per barel adalah kode dari pemerintah bahwa harga BBM dalam negeri sewaktu-waktu bisa berubah.

Urgensi menaikan harga BBM terus dihembuskan oleh beberapa pihak dari dalam pemerintahan, sampai publik maklum atas rencana kebijakan tersebut, jika harga memang terbang tinggi nanti.

Namun demikian, saya kira pemerintah sebaiknya tidak menggiring opini publik bahwa BBM, terutama pertalite dan solar subsidi, akan dinaikan segera.

Pasalnya, efek psikologisnya kepada pasar kurang baik dan berpeluang mendorong ekspektasi inflasi ke level yang jauh lebih tinggi dibanding hari ini dan membuka peluang stagflasi.

Asumsi makro yang cukup moderat untuk tahun depan, saya kira, bisa dicapai jika harga BBM tidak dinaikan tahun ini, karena pertumbuhan dan dinamika ekonomi tahun ini akan menjadi landasan fundamental untuk menyesuaikan harga BBM tahun depan.

Kalau seandainya dinaikan saat ini, dikhawatirkan angka pertumbuhan 5 persenan tak akan tercapai dan inflasi di level 3 plus minus juga semakin sulit tercapai.

Jika kemudian kenaikan harga BBM justru menciptakan inflasi tinggi, maka akan membuat BI semakin kesulitan dalam menahan suku bunga rendah.

Jika BI kemudian memutuskan suku bunga naik lagi karena inflasi semakin liar, maka tahun ini dan tahun depan akan semakin berat. Bahkan boleh jadi tekanan terhadap pertumbuhan dan output ekonomi nasional akan sangat besar.

Dikhawatirkan kemudian terjadi inflationary spiral dan memperbesar peluang stagflasi dan resesi lebih lanjut.

Kekhawatiran atas risiko kenaikan harga BBM tentu bukan soal penurunan konsumsi BBM itu sendiri, tapi lebih kepada multiplayer effect-nya kepada harga barang-barang, terutama barang kebutuhan pokok akibat kenaikan biaya transportasi.

Sementara untuk saat ini, saya kira, masyarakat belum siap menerima kenaikan harga secara masif, karena masyarakat baru saja bisa bernapas akibat tekanan pandemik selama dua tahun dan kenaikan harga beras yang juga belum terkendali.

Pertumbuhan ekonomi kuartal I, II, dan III, memang tercatat sangat baik. Namun saya kira pemerintah masih perlu menunggu sinyal yang lebih jelas di kuartal IV dan kuartal I tahun depan untuk menyimpulkan bahwa masyarakat sudah siap menerima efek berantai kenaikan BBM.

Dan soal perbandingan harga BBM dengan negara lain, yang sering dipakai untuk justifikasi, pemerintah tentu tidak berpatokan secara teding aling-aling atas itu.

Ada perbedaan pendapatan per kapita, daya beli, dan disparitas "living standard" di setiap negara di satu sisi dan ada perbedaan strategi ekonomi dalam memperlakukan BBM di negara lain di sisi lain.

Jadi tidak bisa begitu saja dibandingkan. Di Singapura, Jepang, Amerika, Eropa, bahkan Malaysia, yang jelas-jelas memiliki income perkapita di atas Indonesia, tentu akan menyesuaikan harga BBM di negaranya masing-masing dengan perkapita dan daya beli masyarakatnya.

Ditambah pula dengan perbedaan kebijakan transportasi, di mana di negara-negara tertentu sangat memprioritaskan transportasi publik ketimbang kendaraan pribadi.

Singkatnya, di sini saya ingin menyampaikan bahwa pemerintah harus mulai waspada dengan berbagai potensi tekanan ekonomi global yang sedang mengintai.

Pemerintah perlu mulai melakukan berbagai langkah antisipasi yang dianggap perlu di satu sisi dan tetap berpatokan kepada penjagaan kehidupan ekonomi masyarakat banyak di sisi lain. Semoga.

https://money.kompas.com/read/2023/10/25/122706426/tekanan-ekonomi-global-dan-ancaman-inflasi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke