Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Meski Geopolitik Memanas, Kemenkeu Optimistis Penerimaan Pajak 2024 Tumbuh 9,4 Persen

KOMPAS.com – Perang Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung, disusul dengan perang Israel dan Hamas serta ketegangan Amerika Serikat (AS) dan China, membuat tensi geopolitik semakin memanas.

Ditambah lagi dengan persoalan perubahan iklim atau el nino yang menyebabkan terjadinya kekeringan di banyak negara sehingga memicu krisis pangan dalam jangka waktu lama, serta perkembangan digitalisasi yang teramat cepat.

Ya, semua tantangan pemasalahan itu telah berdampak kuat terhadap munculnya ketidakpastian dan perlambatan perdagangan serta perekonomian global. Hal ini pun menjadi tantangan untuk mencapai target pajak tahun depan.

Dalam merespons kondisi tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti mengatakan, pihaknya mengarahkan kebijakan umum perpajakan 2024 untuk mendukung proses transformasi ekonomi agar terus berjalan di tengah berbagai tantangan.

Hal ini dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan terkait Pengawasan Pembayaran Masa (PPM) dan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM).

Selain itu, dilakukan pula kebijakan lain untuk mengoptimalkan capaian penerimaan pada tahun mendatang, antara lain mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan, memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, memperkuat sinergi melalui joint program, memanfaatkan data, dan melakukan tindakan penegakan hukum.

Untuk mendorong peningkatan rasio perpajakan dan menyediakan insentif perpajakan secara terarah dan terukur, pemerintah turut menjaga efektivitas implementasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Hal ini guna mendukung iklim dan daya saing usaha, serta transformasi ekonomi yang bernilai tambah tinggi.

Secara teknis, Dwi menambahkan, dalam optimalisasi perluasan basis pemajakan sebagai tindak lanjut UU HPP, langkah yang ditempuh adalah tindak lanjut program pengungkapan sukarela dan implementasi nomor induk kependidikan (NIK) sebagai nomor pajak wajin pajak (NPWP).

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak akan menguatkan ekstensifikasi pajak serta pengawasan terarah dan berbasis kewilayahan, seperti implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4) dan prioritas pengawasan atas WP High Wealth Individual (HWI) beserta WP Group, transaksi afiliasi, serta ekonomi digital.

Dari kegiatan penegakan hukum, Ditjen Pajak tetap akan menjunjung tinggi prinsip yang berkeadilan, yakni melakukan optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics.

Ditjen Pajak optimistis dapat mengatasi seluruh tantangan mengingat Core Tax Administration System (CTAS) akan diimplementasikan pada pertengahan tahun 2024.

Melalui implementasi CTAS, diharapkan sistem informasi serta proses bisnis Ditjen Pajak dapat semakin terintegrasi dan andal sehingga menjadikan Ditjen Pajak sebagai institusi penerimaan negara yang kuat, kredibel, dan akuntabel.

Perlu diketahui, pajak tidak hanya berkaitan dengan penerimaan negara. Pajak juga menjadi instrumen kebijakan fiskal, baik untuk mendukung program pemerintah maupun dalam kondisi darurat (discretionary measures).

Instrumen kebijakan fiskal yang dimaksud meliputi pajak pertambahan nilai (PPN) tidak terutang atas pengusaha kecil (omzet sampai dengan Rp 4,8 miliar), PPN dibebaskan atas barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan dan kesehatan, dan Tax Holiday & Tax Allowance.

Lalu juga pengurangan 50 persen tarif PPh bagi wajib pajak (WP) badan usaha mikro kecil menengah (UMKM) beromzet hingga Rp 50 miliar, dan PPh final 0,5 persen untuk WP dengan omzet usaha tertentu sesuai PP 55 2022.

Kemudian pembebasan PPh final untuk WP OP dengan omzet tertentu sesuai PP 55 2022 dengan omzet sampai Rp 500 juta, free trade zone (dibebaskan PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)), Kawasan Ekonomi Khusus (tidak dipungut PPN dan PPnBM), dan PPN tidak dipungut di Kawasan Berikat.

Tidak hanya itu, dilakukan pula pembebasan PPN atas impor atau penyerahan mesin dan/atau peralatan, PPN tidak dipungut atas alat angkutan tertentu, PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) atas rumah, serta PPN DTP atas mobil listrik.

Insentif-insentif tersebut sudah berjalan dan diharapkan akan berlanjut pada 2024 mendatang.

Optimisme 2024

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan penerimaan pajak tahun 2024 diharapkan bisa bertumbuh dan didukung oleh kebijakan pajak yang optimal.

“Penerimaan pajak tahun 2024 diharapkan tumbuh meningkat dibandingkan tahun 2023 sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan didukung oleh berbagai kebijakan pajak yang optimal,” jelas Dwi.

Untuk diketahui, pemerintah melalui Kemenkeu menargetkan penerimaan pajak pada 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun. Tumbuh 9,4 persen dibandingkan perkiraan realisasi penerimaan pajak 2023 yang mencapai Rp1.818,2 triliun.

Optimisme pemerintah itu bukan tanpa sebab bila berkaca pada capaian tahun 2023. Kemenkeu mencatat, penerimaan pajak untuk periode Januari-September 2023 mencapai Rp1.387,78 triliun atau 80,78 persen dari target. Capaian ini tumbuh 5,9 persen dibanding tahun lalu.

Peningkatan penerimaan pajak itu ditopang oleh PPh nonmigas yang sebesar Rp 771,75 triliun (88,34 persen) atau tumbuh 6,69 persen. Kemudian PPN dan PPnBM berhasil dikumpulkan Rp536,73 triliun (72,24 persen) atau tumbuh 6,39 persen. Sementara, PBB dan Pajak Lainnya sebesar Rp 24,99 T, serta PPh Migas sebesar Rp 54,31 T.

Adapun kinerja penerimaan melambat dibandingkan tahun sebelumnya karena disebabkan oleh penurunan signifikan harga komoditas, penurunan nilai impor, dan tidak berulangnya kebijakan program pengungkapan sukarela (PPS).

Ke depannya, penerimaan pajak akan mengikuti fluktuasi variabel ekonomi makro, terutama harga komoditas, konsumsi dalam negeri, belanja pemerintah, aktivitas impor, dan variabel lainnya

Atas dasar itu, penerimaan pajak tahun 2024 diperkirakan akan mencapai realisasi yang lebih besar dari target Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2023 yang sebesar Rp 1.718 triliun.

Hal ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan spillover effect dari kenaikan harga komoditas tahun 2022. Profit tahun 2022 pada SPT Tahunan yang disampaikan dan dibayarkan PPh terutang pada April 2023 pun turut memberi dampak positif.

Di akhir tahun 2023, pertumbuhan penerimaan terutama ditopang oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), yang diperkirakan tumbuh 10,9 persen menjadi Rp811,4 triliun sejalan dengan peningkatan konsumsi.

Kemudian Pajak Penghasilan juga diproyeksikan tumbuh 8,6 persen menjadi Rp 1.139,8 triliun. Sementara PBB dan Pajak Lainnya diperkirakan tetap Rp 37,7 triliun.

Selain itu, strategi pemberian berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur juga diharapkan mampu mendorong percepatan pemulihan dan peningkatan daya saing investasi nasional, serta memacu transformasi ekonomi.

https://money.kompas.com/read/2023/11/14/161911626/meski-geopolitik-memanas-kemenkeu-optimistis-penerimaan-pajak-2024-tumbuh-94

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke