Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pasal-pasal Tembakau di RPP Kesehatan Memberatkan, Pengamat Sosial: Akan Matikan Pedagang Kecil

KOMPAS.com – Para pedagang kecil saat ini sedang resah lantaran adanya wacana berbagai larangan penjualan rokok ke depan yang tidak memperkenankan pedagang kecil melakukannya lagi.

Sebagai informasi, saat ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menggodok aturan baru sebagai turunan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023, yakni draf atau Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Kesehatan.

Di dalamnya akan diatur sejumlah hal, mulai dari pelayanan kesehatan, tenaga medis dan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, sediaan farmasi, hingga teknologi dan sistem informasi kesehatan. RPP Kesehatan dinilai sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mewujudkan transformasi kesehatan di Tanah Air.

Akan tetapi, aturan ini juga turut mengikutsertakan sejumlah pasal soal tembakau. Mengenai penjualan produk tembakau diatur dalam sejumlah pasal yang termaktub dalam Bagian Kedua Puluh Satu tentang Pengamanan Zat Adiktif.

Pasal tersebut menjabarkan tentang pengendalian produksi, impor, peredaran, iklan rokok, serta larangan-larangan terkait penjualan dan sponsorship produk tembakau serta rokok elektronik.

Adanya aturan tersebut membuat para pedagang kecil harap-harap cemas. Mereka tak bisa memajang produk rokok, apalagi menjualnya secara ketengan. Padahal, penjualan rokok menjadi salah satu sumber pemasukan utama.

Hal itu diamini Dadang, salah satu pemilik warung kaki lima di sekitar Pondok Labu, Jakarta Selatan (Jaksel).

Ia mengaku, rokok adalah produk yang paling berperan besar dalam menunjang aktivitas ekonomi di warungnya.

"Kalau (rokok) tidak dibolehkan dijual secara ketengan, dari mana lagi kami dapat untung?" ujarnya ditemui Kompas.com, Sabtu (13/1/2024).

Dadang mengaku cemas memikirkan berkurangnya pendapatan jika RPP Kesehatan diketok palu.

“Kalau bisa, peraturannya lebih berpihak kepada pedagang kecil seperti kami. Sebab, kami mendapat untung dari rokok yang dijual secara ketengan.” ujar Dadang.

Dadang menambahkan, banyaknya pembeli rokok ketengan yang ada di tempatnya tak lepas karena lokasi warungnya yang berada di area pasar.

“Di sini dekat pasar, jadi banyak pekerja. Nah, mereka itu lebih sering membeli rokok secara ketengan ketimbang membeli per bungkus,” katanya.

Omzet lebih besar

Jauh sebelum itu, ketidaksetujuan terhadap pemberlakuan RPP Kesehatan sudah terlebih dulu disuarakan oleh pemilik lima warung Madura yang berada di daerah Bogor, Ciputat, dan Tangerang, Rahman.

Rahman menjelaskan bahwa larangan penjualan rokok ketengan merupakan hal serius yang sangat mengancam pendapatan mereka sebagai rakyat kecil.

“Jual rokok ketengan juga (untungnya) besar,” ujar Rahman dilansir dari laman Tribunnews.com, Kamis (7/12/2023).

Rahman mengaku, rata-rata omzet warung Madura miliknya dapat mencapai sekitar Rp 7 juta hingga Rp 8 juta per hari. Omzet ini sebagian besar disumbang dari penjualan produk tembakau.

“Omzet sehari warung saya dari penjualan rokok itu bisa sampai Rp 4 juta – Rp 5 juta per warung. Makanya, kalau kami tidak dapat menjual rokok (secara ketengan) akan merugikan karena omzet akan turun (signifikan),” katanya.

Rahman menambahkan, dirinya juga keberatan atas rencana larangan memajang produk rokok di tempat penjualan.

“Kalau di warung Madura itu kan paling besar dan paling banyak di depannya adalah rokok-rokok. Mereka memang biasanya terjajar rapi. Kalau tidak ditaruh di etalase, kami bingung mau jual apa,” terangnya.

Kemungkinan tidak efektif

Pengamat Sosial dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) RA Garlika Martanegara menilai, kebijakan pelarangan rokok ketengan dan lainnya yang tertuang pada RPP Kesehatan tak akan berjalan efektif dan justru akan menimbulkan masalah baru.

Menurutnya, peraturan tersebut justru dapat menjadi masalah karena akan mematikan usaha kecil, seperti pedagang asongan ataupun pemilik warung Madura.

“Konsumen rokok terbesar juga sampai saat ini adalah kalangan dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Menurut saya, lebih arif dan bijak kalau (aturan) ini ditinjau kembali. (Harga rokok) dinaikkan silakan, tapi rokok ketengan jangan dilarang karena itu akan mematikan usaha kecil," ucap Garlika seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (17/9/2023).

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Koperasi dan ritel Indonesia (AKRINDO) Anang Zunaedi mengatakan, produk-produk tembakau selama ini menjadi tumpuan perputaran ekonomi.

Oleh karena itu, ia keberatan dengan adanya sejumlah peraturan yang merugikan industri hasil tembakau (IHT) pada RPP Kesehatan yang saat ini tengah disusun oleh Kemenkes.

“Peraturan (pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan) ini jelas bentuknya mau mematikan mata pencaharian pedagang kecil, ultramikro, dan tradisional, yang mana produk tembakau selama ini menjadi salah satu tumpuan perputaran ekonomi mereka. Kami dan pedagang, seolah-olah diposisikan menjual barang terlarang,” kata Anang.

Anang menambahkan, sebagai pihak yang akan terdampak dari aturan tersebut, asosiasinya juga tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan RPP Kesehatan.

Maka dari itu, ia terus berupaya mengingatkan pemerintah terkait pembatasan penjualan hingga promosi produk tembakau dalam RPP Kesehatan tersebut.

“(Masalah) ini sangat perlu diperhatikan. Pasalnya, 84 persen pedagang merasa bahwa penjualan produk tembakau atau rokok berkontribusi signifikan. Kontribusi itu bisa mencapai lebih dari 50 persen dari total penjualan barang seluruhnya,” tuturnya.

Sebagai informasi, AKRINDO adalah wadah gerakan koperasi di bidang usaha ritel yang saat ini menaungi sekitar 900 koperasi ritel dan 1.050 toko tradisional di Indonesia, terutama di Jawa Timur.

https://money.kompas.com/read/2024/01/24/091819426/pasal-pasal-tembakau-di-rpp-kesehatan-memberatkan-pengamat-sosial-akan-matikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke