Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Praktik Carbon Capture and Storage Tak Bisa Diburu-buru, Bangun Kesadaran akan Energi Hijau Dulu

JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan mengenai carbon capture and storage (CCS) belakangan mengemuka. CCS adalah teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan ke atmosfer.

Lewat dua istilah tersebut, jejak karbon, pemanasan global, dan perubahan iklim yang selama ini hanya dipahami industri, pelan-pelan mulai jadi obrolan masyarakat, bahkan yanga awam sekalipun.

Pada dasarnya, teknologi tersebut merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang berkaitan satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).

Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi. Teknologi ini sudah cukup lama dikenal oleh kalangan industri. Namun, implementasi yang lebih luas belum lah banyak.

“Sebetulnya praktik soal carbon storage yang digembar-gemborkan masih memerlukan banyak studi kelayakan, khususnya jika mau diterapkan di Indonesia. Bila merujuk pada studi yang ada, Indonesia masih punya banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan sampai praktik tersebut bisa dilakukan," kata Presiden Direktur PT Atap Surya Kodratul Safti dalam keterangannya, Selasa (30/1/2024).

"Studi yang layak perlu dilakukan untuk memastikan apakah tanah kita (di Indonesia) sesuai dengan karakteristik yang dibutuhkan untuk difungsikan sebagai carbon storage,” ujar Safti.

Safti menjelaskan studi yang saat ini ada membuktikan bahwa belum semua tempat atau lokasi cocok menjadi area penyimpanan karbon.

Safti juga menyoroti pentingnya untuk menggandeng Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan para ahli di bidang lingkungan.

“Bersama-sama, kita perlu memahami dan memastikan bahwa risiko yang dihasilkan dari penerapan praktik CCS tersebut tidak menjadi pengaruh buruk di masa depan bagi lingkungan dan masyarakat,” jelas Safti.

Sebagai pegiat energi berkelanjutan, Safti banyak menyoroti hal-hal yang berkaitan dengan jejak karbon dan solusinya. CCS pun menurutnya bukan solusi jangka pendek, sebab praktiknya tak bisa diburu-buru tanpa studi menyeluruh.

“Saat ini yang lebih kita butuhkan adalah percepatan transformasi industri energi yang bersih,” tegasnya.

Meski demikian, Safti yakin bahwa hal itu tak akan mewujud bila tak ada kesadaran. Untuk membangun kesadaran, Safti mengajak masyarakat untuk melihat lebih jauh risiko dari jejak karbon yang telah dihasilkan manusia.

Perlu diketahui, hampir seluruh aktivitas manusia menimbulkan jejak karbon atau juga dikenal dengan gas emisi buang.

Aktivitas sederhana sekalipun, seperti mengonsumsi makanan, dapat menghasilkan gas emisi. Terutama, jika makanan yang dikonsumsi berpotensi menjadi gunungan sampah.

Kata Safti, jejak karbon yang dihasilkan pun tak dapat dihitung sesederhana kita melihat besar kecilnya ukuran makanan tersebut.

Lebih jauh dari itu, jejak karbon mulai dihitung sejak produk makanan dibuat, mulai dari ekstraksi bahan baku, proses produksi, pengemasan, distribusi menggunakan alat transportasi, hingga sampai pada tangan kita. Dalam jumlah banyak, gas emisi bisa menghasilkan dampak buruk.

Adapun kekeringan, meningkatnya suhu bumi, kekurangan air bersih, timbulnya cuaca ekstrem, dan bencana alam merupakan risiko dari gas emisi yang dihasilkan segala aktivitas manusia.

Kata Safti, dampak-dampak buruk itu sudah di depan mata dan juga mulai dirasakan masyarakat. Tanpa kesadaran untuk beralih pada energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan, risiko yang lebih buruk lagi akan membayangi kehidupan di masa depan.

Meski demikian, perubahan seperti itu perlu upaya. Terlebih, mewujudkannya memerlukan dukungan dari semua pihak, juga perhatian dari pemerintah berupa kebijakan yang berpihak pada keberlangsungan lingkungan dan kehidupan masa depan yang lebih baik.

Perjalanan karier Safti pada sektor ramah lingkungan rupanya bukan semata ambisi mengejar keuntungan dalam berbisnis. Lebih dari itu, ia meyakini bahwa itu jadi upaya dan komitmennya dalam mendorong penggunaan energi ramah lingkungan demi masa depan Tanah Air yang lebih baik.

Ketertarikan Safti pada bidang tersebut muncul sejak ia mengenyam bangku kuliah pada tahun 1999 di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta jurusan Teknik Industri.

Diakui Safti, pengetahuan akademis dan informasi yang ditelannya semasa kuliah menjadi patron sekaligus bekal untuk membuat bisnis yang mendukung perubahan ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Pada 2019, Safti menjadi satu dari pendiri perusahaan teknologi energi surya berbasis di Jakarta yang menyediakan layanan serta produk bebasis ramah lingkungan dengan harga terjangkau.

Lewat upaya itu, Safti berharap, masyarakat punya pilihan untuk berkontribusi terhadap masa depan bumi yang lebih bersih.

Saat ini, Safti juga mengambil bagian dari bisnis di Iforte Energi Nusantara. 

https://money.kompas.com/read/2024/01/30/212223826/praktik-carbon-capture-and-storage-tak-bisa-diburu-buru-bangun-kesadaran-akan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke