Menurut data Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras jenis premium naik sebesar 0,37 persen menjadi Rp 16.320 per kilogram (kg), sedangkan harga beras jenis medium naik sebesar 0,49 persen menjadi Rp14.290 per kg.
Meskipun demikian, harga beras masih berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah sebesar Rp 10.900 - Rp 11.800 per kg untuk beras medium dan Rp 13.900 - Rp 14.800 per kg untuk beras premium berdasarkan Perbadan No.7/2023.
Kenaikan harga beras belakangan ini bisa menyulut krisis pangan karena dampaknya dapat merembet ke harga bahan makanan lainnya yang penting.
Kondisi pasar yang tidak stabil menyebabkan pasokan beras tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan, sehingga harga beras terus melonjak. Ini menunjukkan bahwa ada ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar.
Lonjakan harga beras mencerminkan situasi pasar sedang bergejolak mengakibatkan ketersediaan beras tidak dapat mengikuti permintaan.
Direktur utama Bulog Bayu Krisnamurthi menyatakan lonjakan harga dan kelangkaan stok beras disebabkan peningkatan bantuan beras dari pemerintah.
Produksi beras Indonesia telah mengalami penurunan sebesar 2,05 persen sejak 2023, turun dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 30,90 juta ton pada 2023.
Meskipun lahan pertanian padi masih luas di Jawa Barat, Sumatera, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat (NTB), produksi beras masih tidak mencukupi setiap tahun.
Lonjakan harga gabah di tingkat petani, termasuk di sentra-sentra produksi, juga menjadi masalah serius, bahkan telah melampaui Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sejak Maret 2023.
Akibatnya, kenaikan harga beras bagi konsumen menjadi tak terhindarkan.
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan lonjakan harga beras adalah harga pupuk yang tinggi.
Harga pupuk masih tinggi disebabkan konflik antara Rusia dan Ukraina, yang keduanya merupakan produsen utama bahan baku pupuk.
Ketahanan pangan Indonesia menghadapi ancaman serius akibat fenomena El Nino yang menyebabkan kemarau panjang sepanjang 2023.
Menurut Moh Ismail Wahab, Direktur Serealia Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, El Nino mengakibatkan potensi curah hujan menurun atau bahkan tidak turun sama sekali selama satu tahun, mengganggu jadwal tanam dan memaksa petani untuk menunda atau mengubah pola tanam.
Perubahan cuaca ini dapat mengganggu produksi pertanian, menyebabkan penurunan luas tanam, dan bahkan gagal panen.
Dampaknya adalah ketidakstabilan pasar, dengan peningkatan harga dan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan.
Pemerintah telah melakukan impor beras sebagai upaya untuk memenuhi permintaan yang tinggi dan memastikan ketersediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) serta kebutuhan Bantuan Sosial.
Meskipun saat itu merupakan musim panen raya petani padi, pemerintah menyatakan bahwa impor tersebut diperlukan karena dampak El Nino yang menyebabkan penurunan produksi beras.
Namun, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran akan ketergantungan dan potensi kebangkrutan bagi petani di Indonesia jika terus dilanjutkan.
Hampir setiap tahun pemerintah menghadapi tantangan serius terkait produksi beras yang tak sebanding dengan lonjakan konsumsi.
Langkah proaktif diperlukan untuk meningkatkan produksi beras dengan memperhitungkan potensi musim kemarau yang datang.
Sementara itu, program pangan alternatif harus didorong sebagai langkah cepat untuk mengatasi penurunan produksi beras dalam negeri.
Pemerintah juga harus fokus pada promosi pola makan yang seimbang serta diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras sebagai sumber karbohidrat utama.
Dengan langkah-langkah tepat, pemerintah dapat meningkatkan produksi beras, mengantisipasi musim kemarau, dan mengurangi kerentanan terhadap fluktuasi pasokan beras di dalam negeri.
https://money.kompas.com/read/2024/02/26/060000226/lonjakan-harga-beras-dan-krisis-pangan