Tsunami finansial. Demikian kalangan pasar finansial menggambarkan drama rontoknya sejumlah raksasa bank investasi dan lembaga keuangan terkemuka Wall Street dalam beberapa hari terakhir.
Seperti mimpi buruk. Dalam waktu singkat, kondisi pasar finansial AS seperti dijungkirbalikkan dan tersapu habis. Lehman Brothers, yang merupakan perusahaan sekuritas keempat terbesar di AS dan salah satu tertua di Wall Street, harus mengaku bangkrut. Merrill Lynch harus merelakan diri diakuisisi oleh perusahaan yang menjadi rivalnya selama ini, Bank of America.
Pemerintah juga dipaksa menalangi dan Federal Reserve harus menjadi lender of resort (penjamin likuiditas terakhir perbankan) sejumlah raksasa bank investasi, lembaga sekuritas atau perusahaan asuransi, dan penjamin kredit yang rontok satu per satu, mulai dari Bear Stearns, Fannie Mae dan Freddie Mac, IndyMac, hingga American International Group (AIG), karena alasan risiko sistemik. UBS, bank tabungan, dan bank kredit terbesar Washington Mutual juga di ujung tanduk. Hingga sekarang belum ditemukan investor penyuntik modal.
Dua bank investasi yang masih tersisa, Morgan Stanley dan Goldman Sachs, kemungkinan juga akan dipaksa merger dengan bank lain guna menghindari nasib serupa. AS harus menelan ludah sendiri. Negara adidaya ekonomi yang sebelumnya menolak masuknya investasi BUMN milik pemerintah asing (sovereign wealth fund/SFW) ke lembaga keuangan dan sektor strategis lain di negaranya—karena desakan sentimen nasionalisme di dalam negeri—itu kini harus mengemis kepada bank-bank asing untuk mengakuisisi atau menjadi partner merger bank-bank nasionalnya karena krisis likuiditas yang dihadapi.
Keruntuhan lembaga-lembaga keuangan besar Wall Street—sebagai rentetan dari krisis kredit macet perumahan yang sudah berlangsung sejak Juli 2007— itu memicu kekhawatiran akan terjadinya efek domino yang menuntun ke spiral kebangkrutan seluruh sistem finansial global.
Di Inggris, sejauh ini sudah ada dua bank Inggris yang kolaps, HBOS dan bank kredit Halifax Bank. Keruntuhan fondasi keuangan Wall Street juga berdampak sangat destruktif pada perekonomian AS, pasar finansial, dan perekonomian global.
Pasar saham mengalami kejatuhan terbesar sejak insiden serangan teroris ke World Trade Center, 11 September 2001. Pencapaian 10 tahun terakhir pun lenyap dengan indeks Standard & Poor’s turun di bawah level tahun 1998. Hingga kemarin, saham dari berbagai sektor secara accross the board terus berjatuhan, diikuti indeks di bursa-bursa saham di seluruh dunia.
Kalangan analis mengingatkan, krisis memasuki periode yang semakin berbahaya dengan nyaris lumpuhnya pasar surat utang karena investor di berbagai penjuru dunia yang panik berebut memindahkan uangnya ke instrumen yang lebih aman, seperti T-bills dan emas.
Krisis likuiditas, yang dikombinasikan dengan krisis kepercayaan juga membuat suku bunga pinjaman bagi sektor korporasi membubung tinggi, membuat dunia usaha kesulitan membiayai kegiatan operasi sehari-hari mereka. Suku bunga pinjaman jangka pendek antarbank (overnight) sempat melonjak hingga 8,5 persen, Kamis, sebelum turun kembali ke 2 persen pascaintervensi bank-bank sentral negara maju.
Perkembangan situasi di Wall Street dari jam ke jam dan dari hari ke hari yang sangat cepat dengan efek ramifikasi yang luas ke seluruh penjuru dunia membuat tak ada seorang pun berani meramalkan apa yang akan terjadi ke depan.