Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PKB dan BBN Alat Berat (Memang) Memberatkan

Kompas.com - 15/12/2008, 13:04 WIB

JAKARTA, SENIN — Pemberlakuan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) oleh daerah melalui peraturan daerah (perda) sangat meresahkan pengusaha pengguna alat-alat berat dari berbagai sektor.
  
"Keberatan sudah kami sampaikan sejak sekitar tahun 2004. Kami khawatir dengan perkembangan akhir-akhir ini," kata Ketua Tim Asosiasi Pengguna Alat-alat Berat Indonesia (PAABI) Susanto Joseph.
   
Susanto menyatakan hal itu dalam kesempatan Workshop Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (15/12).
   
Ia menyebutkan, keberatan pemberlakuan PKB dan BBNKB alat berat diajukan oleh 12 asosiasi di bawah Kadin, yaitu ASPINDO, APPAKSI, APBI, IMA, ALSINTAN, GAPENSI, APMI, APHI, APARATI, APINDO, dan HANABI.
   
Menurut dia, perlu dihindari adanya upaya daerah meningkatkan  penerimaan daerah yang menabrak rambu-rambu hukum, asas kepatutan, apalagi sampai menghambat iklim investasi.
  
Bila permasalahannya adalah ketidakseimbangan keuangan antara pusat dan daerah, jangan sampai masyarakat dan dunia usaha yang dijadikan korban.
   
Otonomi daerah secara positif telah memacu pemda berlomba proaktif mencari sumber-sumber potensial untuk pembiayaan pembangunan daerah. Salah satu yang potensial untuk menjadi sumber pemasukan bagi PAD adalah melalui pajak daerah. "Namun sayangnya tidak sedikit perda-perda yang tidak sejalan dengan regulasi di atasnya sehingga ada revisi UU 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sehingga ada kepastian. Namun kelihatannya dari draft RUU yang ada, pemerintah masih tidak menyadari adanya kesalahan prinsip yang terjadi," katanya.
   
Sejak diundangkan UU 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan PP 65/2001 tentang Pajak Daerah telah muncul perda-perda tentang PKB dan BBNKB alat berat yang meresahkan pengusaha.
   
Menurut Susanto, UU sebelumnya, yaitu UU 18/1997, tidak mengategorikan alat berat sebagai kendaraan bermotor, tetapi memasukkannya sebagai alat produksi dan barang modal. "Malaysia juga tidak memperlakukan alat berat sebagai heavy vehicle, tetapi sebagai heavy equipment," katanya.
   
Bila mengacu pada nature sektor usaha yang menggunakan alat-alat produksi, alat-alat berat seharusnya diperlakukan sama dengan alat produksi sebagaimana layaknya pada industri-industri lainnya. "Oleh karena itu, pasal yang masih mencantumkan pengenaan PKB atas alat berat dalam RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selayaknya dihapus karena bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan," katanya.
   
Selayaknya alat-alat berat yang beroperasi di kawasan industri, area infrastruktur, kehutanan, perkebunan, atau area pertambangan harus diperlakukan sama dengan alat produksi, dan demikian juga dengan perlakuan pajaknya.
   
Menurut dia, terhadap kepemilikan/penguasaan alat berat/besar maupun hasil produksi atas pemakaian alat tersebut, sudah dikenakan beragam pajak mulai dari membayar royalti, PPh badan, bea masuk, dan lainnya. "Oleh karena itu beban pengusaha dan investor menjadi berat untuk melangsungkan usahanya, yang selanjutnya tentu sangat tidak nyaman bagi para investor karena tidak adanya konsistensi regulasi yang memayungi investasi daerah," katanya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com