Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

AI Tak Terdeteksi

Kompas.com - 13/01/2009, 08:05 WIB
JAKARTA, KOMPAS - Mutasi virus flu burung yang memapar unggas di Indonesia sejak tahun 2003 telah menimbulkan masalah baru. Unggas yang terserang virus flu burung sekarang tidak lagi menunjukkan gejala klinis yang spesifik sehingga semakin sulit dikenali.

Demikian pendapat pakar penyakit unggas dari Universitas Gadjah Mada yang juga anggota panel ahli Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI), Charles Rangga Tabbu, saat dihubungi akhir pekan lalu di Yogyakarta.

Menurut dia, masalah flu burung (AI) yang baru di Indonesia adalah virus yang menyerang unggas sekarang gejala klinisnya berbeda dengan tahun 2003. Begitu pula kerusakan jaringan pada unggas.

”Kami mengalami kesulitan mendiagnosis flu burung pada unggas di lapangan. Dulu unggas yang terserang mudah dikenali, tetapi sekarang tidak,” kata Charles yang juga Ketua Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia. Bentuk subklinis susah ditebak gejalanya dan tidak spesifik.

Menurut dia, gejala klinis tak bisa diamati dengan mata telanjang atau memegang bangkai. ”Harus dilakukan pemeriksaan di laboratorium,” kata dosen bagian patologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM ini.

Hal senada diungkapkan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) I Wayan Teguh Wibawan, Minggu (11/1). ”Gejala klinis dan patologis flu burung pada unggas, khususnya ayam, makin sulit didiagnosis karena amat bervariasi, baik pada ayam ras maupun bukan ras,” ujarnya.

Menurut dia, gejala klinis, seperti warna ungu pada jengger, telapak kaki, dan tungkai kebiruan, belum tentu tampak. ”Apalagi kematian unggas kena flu burung tidak tinggi, bisa kacau identifikasi. Warga bingung, itu tetelo atau flu burung,” katanya.

Perubahan gejala ini terjadi akibat mutasi virus atau juga karena unggas telah divaksinasi lalu kontak dengan virus. Antibodi yang tak terlalu kuat menyebabkan virus tetap bersarang pada diri unggas dan menyisakan virus pada kotoran (virus shedding).

”Selalu harus ada bantuan laboratorium untuk mendeteksi virus atau melakukan isolasi virus atau dengan teknologi amplifikasi gen atau virus,” ujarnya menjelaskan.

Kini tanda-tanda klinis tinggal perdarahan atau bercak-bercak merah pada organ-organ tubuh ayam di antaranya ginjal dan usus. Masalahnya, perdarahan pada organ tubuh juga ditemukan pada ayam yang terserang penyakit ende, kolera, dan gumoro.

”Ini seni diagnosis dengan pertimbangan epidemiologis, patologis, riwayat hingga ayam sakit, vaksin yang diberikan, dan pemeriksaan PCR,” ujarnya.

Kesamaan sifat

Menurut Charles, agar vaksinasi efektif harus mencari kesamaan sifat-sifat biologis dan komposisi genetis sama. Galur virus vaksin dan subtipe vaksin harus homolog dengan virus lapang.

Sebagai contoh, hingga saat ini kelompok virus AI dari Purwakarta dan Sukabumi berbeda dengan semua vaksin yang ada di Indonesia. Itu karena antigenisitas kelompok virus ini berbeda dengan dua kelompok virus lain di Indonesia, yaitu kelompok klasik Legok dan virus Sulsel.

Direktur Kesehatan Hewan Departemen Pertanian Ad Interim Turni Rusli mengatakan, mutasi virus mungkin terjadi. Karena itu, sebagai antisipasi, pemerintah melakukan upaya deteksi dini, antara lain bersama masyarakat melakukan reaksi cepat atas berbagai informasi historis atau informasi baru soal kasus AI.

”Kalau ada informasi di suatu desa, petugas langsung mendatangi, melakukan pemusnahan dan vaksinasi tertarget,” katanya.

Selain punya antibodi, unggas juga memiliki kekebalan seluler dalam menampilkan tanda-tanda klinis penyakit. Namun, itu bukan berarti terjadi mutasi virus.

”Ada kemungkinan ini terjadi karena virus flu burung yang menyerang tidak 100 persen cocok dengan antibodi pada ayam, termasuk antibodi yang terbentuk oleh vaksin,” kata Wibawan.

Manifestasi penyakit bersifat subklinis menunjukkan, disinyalir virus-virus flu burung bisa dideteksi dan diisolasi dari ayam- ayam yang tampak sehat. ”Perlu diperhatikan karena virusnya ganas,” katanya.

Tentang gejala itu, Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan, pengendalian flu burung pada unggas harus terus digalakkan oleh Departemen Pertanian.

Menurut Menkes, seusai jumpa pers soal rencana program Depkes tahun 2009, kemarin, Depkes juga melengkapi fasilitas 100 rumah sakit rujukan flu burung, disertai dua laboratorium rujukan nasional flu burung Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Lembaga Eijkman, 8 laboratorium regional, dan 34 laboratorium subregional.

Selain itu, Depkes mendistribusikan oseltamivir ke dinas kesehatan, RS rujukan flu burung, RS umum daerah kabupaten/kota, RS swasta yang pernah merawat kasus flu burung, dan puskesmas di seluruh provinsi di Indonesia. (MAS/EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com