Atas dasar ini, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng, mendesak pemerintah menambah alokasi anggaran untuk BLT sebagai stimulus. Bagi Melchias, stimulus berupa transfer dana langsung ke masyarakat jauh lebih efektif dibandingkan dengan penghematan pajak saat perekonomian sedang menghendaki pertumbuhan permintaan domestik dalam jumlah besar saat ini.
Dua pilihan
Jika kita melihat pengalaman China dan Jepang, seperti diulas The Economist, sebenarnya Indonesia sudah bisa memilih. China sejak lama percaya bahwa kombinasi proyek infrastruktur dengan kucuran stimulus secara tunai langsung ke masyarakat miskin bisa menghasilkan dua keuntungan, yakni daya beli di dalam negeri menguat dan infrastruktur semakin kaya.
Adapun Jepang memilih mengarahkan sumber dananya sebagian besar ke proyek infrastruktur dengan daya serap tenaga kerja yang rendah, sejak awal tahun 1990-an. Hasilnya, dana infrastruktur Jepang cenderung terbuang-buang karena tidak fokus, sementara secara kontras di China, mereka bisa menikmati jembatan, jalan, dan jalur kereta api yang jauh lebih baik.
The Economist malah secara vulgar meminta negara-negara di Asia mengurangi ketergantungan perekonomiannya pada ekspor. Sebab, negara-negara tujuan ekspor Asia, baik Uni Eropa maupun Amerika, sudah terpuruk. Penduduk Eropa dan Amerika sudah kehilangan daya beli dan tak sanggup membeli barang-barang dari Asia dalam jumlah mencukupi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi kawasan. Asia diminta berhenti menabung dan mulailah membelanjakan setiap dana yang dimilikinya.
Paul Krugman, peraih hadiah Nobel Ekonomi 2008, menggambarkan resesi dunia sebagai sebuah suasana sangat suram di mana pasokan barang ada di mana-mana, namun tidak ada permintaan. Pada saat banyak toko dibuka, tetapi tidak ada pembelinya. Atau pada saat pedagang kaki lima menjamur semakin banyak, namun mereka menangis tidak ada yang membelinya. Tentunya Indonesia ingin terhindar dari situasi ini. Semoga!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.