Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Skenario di Balik Divestasi Newmont

Kompas.com - 07/04/2009, 08:38 WIB

Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.

Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya, belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih. ”Panel menggunakan hukum yang berlaku di Inggris. Mengacu pada aturan itu, maka ganjaran yang diberikan yang seminimal mungkin,” kata Joseph.

Namun, ia mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak karya, terminasi bisa dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan.

Direktur Eksekutif Reforminer Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kisruh divestasi yang berujung pada arbitrase itu sebenarnya menunjukkan dua hal. Pertama, potret ketidakberdayaan pemerintah atas rezim kontrak karya. Kedua, berkuasanya investasi asing bermodal besar. ”Untuk menyatakan NNT lalai melakukan divestasi saja, pemerintah harus maju ke arbitrase, dan justru panel menolak tuntutan utama soal memutus kontrak,” kata Pri Agung.

Bentuk kontrak atau perjanjian menempatkan posisi pemerintah dan perusahaan pertambangan berada sejajar. Kontrak dengan perusahaan multinasional selalu memasukkan klausul penyelesaian melalui arbitrase internasional. Kontrak tidak tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia kecuali arbitrase menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait harus mematuhi hasil putusan.

Merunut sejumlah divestasi perusahaan pertambangan asing, yang memperoleh manfaat dari divestasi adalah kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.

Sebagai contoh, divestasi saham PT Freeport Indonesia yang jatuh ke tangan pengusaha Aburizal Bakrie dan Bob Hasan. Bakrie juga menangguk keuntungan dengan menadah saham PT Kaltim Prima Coal yang menjadikan konsorsium perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia, BUMI Resources. Tambang Batu Hijau, di Nusa Tenggara Barat, yang dikelola oleh NNT, menghasilkan emas dan tembaga.

Direktur Indonesia Coal Society Singgih Widagdo menilai, pelaksanaan divestasi saham perusahaan tambang asing masih jauh dari semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Sejauh ini, divestasi tidak pernah benar-benar dimanfaatkan untuk mengelola sendiri kekayaan tambang. ”Apabila pemerintah serius, seharusnya dari awal badan usaha milik negara didorong membeli saham tersebut. Kalau itu dilakukan dari dulu, sekarang kita sudah punya BUMN tambang yang besarnya sama dengan perusahaan multinasional,” ujar Singgih.

Ia mencontohkan BUMN tambang asal Brasil, Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), yang menjadi salah satu perusahaan tambang kelas dunia.

Dari catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT, pemerintah pusat sebagai pihak pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan tidak memiliki dana. Hak pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu kemudian diberikan kepada pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda jelas tidak memiliki kemampuan sendiri untuk membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang jika digabungkan mencapai 400 juta dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik daerah kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu BUMI dan Trakindo.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com