KOMPAS.com — Sore yang cerah. Sekelompok laki-laki, yang berkumpul dan duduk-duduk di halaman rumah Benyamin Bana (32), berbincang santai. Obrolan-obrolan mereka, sesekali diselingi tawa, menyisakan pemandangan deretan gigi berwarna putih semburat kemerahan.
Mulut mereka tak henti-hentinya mengunyah, dan ketika apa yang diunyah itu sudah cukup dan habis, lantas diludahkan ke tanah. Cuh... cuh... cuh.... Habis meludah, mereka mengunyah, begitu seterusnya, menyisakan bercak-bercak berwarna merah di tanah. Hm, sepertinya enak, apa yang mereka masukkan ke dalam mulut.
"Ah, ini kami sebut pua, artinya pinang, menginang. Ini penting bagi kami, orang Timor," begitu kata Benyamin. Lelaki ini adalah Bapak Desa (sebutan bagi kepala desa) di Desa Suni, Kecamatan Noebana, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur.
Menginang, bagi masyarakat NTT, terutama di pelosok desa seperti di Suni—yang terletak 200 km timur Kota Kupang ini—adalah ritual harian. Sudah menjadi kebutuhan, malah, karena mereka suka menginang. Mereka bisa menginang sampai 10 kali sehari.
Setiap berangkat ke kebun, atau bepergian, peralatan menginang tak ketinggalan dibawa. Pinang, sirih, kapur, dan tembakau, dimasukkan rapi ke wadah anyaman bambu berbentuk tabung. Karena kaum perempuan lebih jarang menginang, wadah yang dibawa lebih kecil. Namun perlu dicatat, bagi kaum perempuan pedesaan NTT, menginang juga bukan berarti larangan untuk memakai lipstik.
Bibir-bibir yang berwarna merah menjadi bukti bahwa aktivitas menginang sudah mendarah daging. Begitu anak laki-laki berumur 17 tahun, maka wajib pua. Kemudian, bagi anak perempuan, hukumnya tidak begitu wajib alias menginang hanya jika ingin. Masyarakat tak perlu membeli bahan-bahan karena sirih, pinang, kapur, dan tembakau ditanam sendiri. Maklum, pekerjaan mereka biasanya bercocok tanam.
Kalau baru pertama pua, rasanya tak karuan. Ada pula yang sampai mabuk karena tak tahan mengunyah tembakaunya. Tetapi, kalau sudah biasa menginang, pasti ketagihan. Badan enggak semangat dan mulut terasa mati gaya jika bangun tidur tak menginang.
Dari sisi manfaat kesehatan, masyarakat percaya bahwa pinang dan sirih bagus untuk membunuh kuman di gigi dan mulut. Kapur untuk kekuatan gigi, sedangkan tembakau berkhasiat untuk kesehatan mata. Semakin banyak menginang, maka semakin baik.
"Buktinya gigi saya masih utuh dan kuat untuk makan apa saja. Belum ada yang tanggal," ujar Benyamin memamerkan giginya. Ia lalu menambahkan, "Warga saya juga enggak ada yang berkacamata. Tak perlu kacamata karena pandangan mata masih awas."
Namun menariknya, bagi masyarakat NTT, terutama pedesaan, menginang bukan sekadar camilan yang bertautan dengan manfaat kesehatan. Makna pua lebih dari itu. Menginang menjadi syarat pertama melakukan sesuatu atau menjalankan ritual. Menginang bersama berarti pula merasa sebagai saudara.
Bertamu ke tetangga, pua disajikan. Mau minta tolong sama teman, sirih pinang dihunjukkan dulu. Acara kumpul-kumpul, sajian wajibnya adalah pua. Pua pun masuk daftar pertama perlengkapan syarat melamar. Tiap pagi, istri menyajikan pua ke suami sebagai camilan menemani teh. Cewek-cewek yang lagi naksir cowok boleh memberi pua dalam wadah anyaman bambu sebagai ungkapan cinta.
"Menginang sudah menjadi tradisi, kebutuhan, dan kebanggaan. Dengan menginang, kami melanjutkan tradisi dan memberikannya nanti ke anak-anak kami. Mereka yang akan menginang, menggantikan kami," ujar Habel Bana, tetua adat di Dusun II Suni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.