Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membayangkan Ronaldo

Kompas.com - 01/11/2009, 06:46 WIB

Budi Suwarna dan Yulia Sapthiani

KOMPAS.com — Tahun depan, Cristiano Ronaldo akan menjadi ikon global produk celana dalam Emporio Armani menggantikan David Beckham. Bisa enggak ya pemain Indonesia menjadi ikon produk serupa?

Ronaldo memang punya segalanya. Tampang, kemampuan prima dalam sepak bola, profesionalitas dan main di klub yang sangat profesional dengan catatan prestasi tingkat dunia. Keunggulan macam itulah yang dikemas dan dijual dengan harga mahal.

Menjual olahraga sebagai tontonan telah lama dilakukan di Barat. Sepak bola, tenis, dan basket adalah tontonan yang mengasyikkan, bukan hanya karena prestasi dan soal teknis olahraga, tetapi juga ada drama dan sisi manusia yang ditampilkan.

Untuk menjadi tontonan yang bisa dijual, tentu saja harus ada prestasi dan ada bintang. Sementara, dunia olahraga Indonesia telanjur tumbuh salah kaprah.

Ambil contoh sepak bola. Klub sepak bola, kata CEO PT Liga Indonesia Joko Driyono yang mengelola Liga Super Indonesia, telanjur dikelola seperti paguyuban. Orientasinya bukan prestasi atau bisnis, melainkan bagaimana menunjang kekuasaan pejabat. Dengan mengucurkan dana APBD ke klub sepak bola, pejabat daerah merasa sudah membangun dunia olahraga. ”Ketika klub dipaksa berbisnis seperti sekarang, mereka kebingungan,” tambah Joko.

Apakah olahraga nasional Indonesia, termasuk sepak bola, bisa dijual sebagai tontonan? Bisa. Itu optimisme dari Kepala Produksi ANTV Reva Deddy Utama. Syaratnya, orang-orang sepak bola harus sadar olahraga adalah bagian dari bisnis hiburan.

”Kalau tidak mengerti, bagaimana mereka bisa merancang permainan yang berkualitas, ada unsur drama, enak ditonton, dan laku dijual,” kata Deddy.

Faktanya, orang-orang olahraga belum mengerti. Deddy mencontohkan, berkali-kali dia mengingatkan pemain agar ketika turun dari bus menuju arena pertandingan mereka melambaikan tangan ke arah kamera. ”Eh, mereka malah menunduk.”

Sebelum pertandingan, Deddy juga mengingatkan pemain agar setelah mencetak gol mereka merayakan di depan kamera televisi. Yang terjadi, malah melarikan diri dari kamera. ”Bagaimana televisi bisa dapat gambar bagus. Masak gambar bagusnya cuma waktu jotos-jotosan saja.”

Dia membandingkan dengan aksi pemain Kamerun, Roger Milla, yang menggoyangkan pinggul setelah mencetak gol di Piala Dunia 1990. ”Sampai sekarang adegan itu dikenang orang. Yang seperti itu kan bisa diciptakan kalau mau.”

Selain drama, program olahraga televisi juga butuh bintang. Karena tidak ada bintang yang muncul secara alamiah, Deddy pernah berusaha menciptakan bintang artifisial. ”Bayangan saya, dia seperti Beckham lokal yang bisa jadi model dan bergaul dengan kalangan artis.”

Dia pun mencari pemain yang bagus dan ganteng. Kemudian, dia akan ”menjodohkannya” dengan artis. Lalu, mereka ”pacaran” dan disorot kamera. ”Sampai di situ saja. Yang penting pemain itu jadi pembicaraan. Sudah ada artis yang mau. Tapi pemain bolanya enggak ada yang mau ha-ha-ha....”

Jual prestasi

Menjual olahraga adalah menjual prestasi. Sejak 1997, Indonesia tidak pernah juara umum SEA Games, bahkan tidak mampu menjadi runner-up. Liga sepak bola Indonesia yang berpotensi menyedot banyak penonton masih diwarnai adu jotos. Cabang bulu tangkis yang dulu jadi kebanggaan, kini prestasi sedang melorot.

Karena situasi serba suram, sang bintang pun tidak muncul. Ini berbeda dengan era 1970-an dan 1980-an, di mana muncul bintang bulu tangkis Rudy Hartono, Liem Swie King, dan bintang sepak bola seperti Iswadi Idris sampai Andjas Asmara dielu-elukan penonton.

Olahraga nasional yang karut-marut ini boro-boro menghasilkan uang, sebaliknya malah menghabiskan uang. Inilah yang terjadi di cabang sepak bola. Sebagian besar klub sepak bola yang mengaku profesional justru menggantungkan dana dari APBD.

CEO PT Liga Indonesia Joko Driyono mengatakan, setiap klub menghabiskan dana sekitar Rp 10 miliar-Rp 40 miliar untuk satu musim kompetisi. ”Sebagian besar dana itu dari APBD,” kata Joko.

PT Liga Indonesia, kata Joko, telah mendorong klub sepak bola hidup dari bisnis yang mereka kelola. Di tahap awal, pihaknya mewajibkan semua peserta Liga Super Indonesia menjadi badan hukum resmi. ”Saat ini, ada 18 klub yang membentuk PT (perseroan terbatas). Tapi praktiknya belum seperti PT,” katanya.

Persija, misalnya, telah membentuk PT Persija Jaya. Menurut Joko, klub itu membuat unit terpisah yang salah satu tugasnya mengusahakan kucuran dana APBD DKI Jakarta. Klub itu pun masih akan mendapat dana APBD Rp 12 miliar yang dikucurkan tahun depan. Pengelola PT Persija Jaya Harianto Badjoeri mengatakan, pihaknya kesulitan menjalankan bisnis sehingga tetap butuh dana APBD (Kompas, 10/9).

Ikon

Di Eropa, olahraga telah menjadi industri. Barang jualannya tidak lagi sebatas pertandingan, tetapi juga citra. Atlet tidak cuma dapat uang dari olahraga, tetapi juga dari kontrak iklan. Klub sepak bola tidak hanya mengeruk uang dari tiket, transfer pemain, dan hak siar pertandingan, tapi juga suvenir dan merek.

Lisensi nama MU, misalnya, dijual untuk iklan operator seluler, nama jaringan restoran, hingga penerbangan murah. Tidak heran jika pendapatan klub asal Inggris itu diperkirakan mencapai 300 juta poundsterling atau Rp 4,7 triliun pada musim kompetisi 2009/2010. Jumlah ini sekitar 40 kali lipat dari uang yang berputar di Liga Super Indonesia untuk satu musim kompetisi, yakni Rp 100 miliar-Rp 120 miliar.

Pemain sepak bola pun menjadi ikon gaya hidup yang citranya dijual ke seluruh dunia, termasuk Jakarta. Di kawasan Senayan dan Kuningan, kita bisa menatap wajah tampan Cristiano Ronaldo di papan iklan sampo dan oli.

Tahun depan Ronaldo akan dijadikan ikon celana dalam produksi Emporio Armani menggantikan David Beckham. Kalau papan iklan itu juga terpasang di Jakarta, barangkali banyak penggemar Ronaldo bakal histeris.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com