Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

14 Hari dalam Jeruji Sabun dan Kacang Hijau

Kompas.com - 17/12/2009, 04:46 WIB

Oleh Siwi Yunita Cahyaningrum

Hukum telah berubah menjadi jaring laba-laba. Hanya menjerat yang kecil, tetapi tak kuasa meringkus yang besar dan berkuasa. Inilah yang dialami kakek berusia 77 tahun dari Cirebon, Jawa Barat. Ini pula yang pada pengujung tahun ini terus terjadi di negeri ini: keadilan yang njomplang!

Demi menebus kesalahannya, mencuri dua sabun dan setengah kilogram kacang hijau di minimarket, Sardjo bin Raswad harus merasakan dinginnya sel tahanan selama 14 hari. Dengan tubuh rentanya, ia harus menjalani sidang bolak-balik dari Tegal ke Cirebon untuk menebus kesalahannya.

Sardjo akhirnya bisa menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Sumber di Cirebon setelah dua kali sidang itu ditunda tanpa kehadirannya. Pada Kamis lalu, ia mencoba datang sendirian dari rumahnya di Blok Kemuren, RT 06 RW 01, Desa Sidakaton, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, ke Pengadilan Negeri Sumber tanpa pendamping. Ia menggunakan angkutan umum. Namun, bukannya sampai di Cirebon, ia justru tersesat hingga ke Ciracas, Kuningan, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari tempat seharusnya ia disidang.

Jauhnya jarak rumah dan pengadilan membuat tubuh rentanya tak bisa berkompromi. Senin (14/12), ia jatuh sakit dan terpaksa harus beristirahat dan tak bisa menghadiri sidang. Akhirnya, kakek yang hidup sebatang kara itu dijemput oleh polisi dari rumahnya untuk diantar mengikuti sidang ke pengadilan ke Cirebon, Rabu.

Di depan hakim dan jaksa di pengadilan, Sardjo terus terang mengaku bersalah. ”Saya khilaf, Pak, pengin beli tetapi tak punya uang,” aku Sardjo sambil menunduk.

Ia mengaku mengambil dua batang sabun dan setengah kilogram kacang hijau pada 19 November lalu tanpa membayar di kasir sebuah minimarket di Desa Losari, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon.

Sardjo memang ingin membawakan oleh-oleh bagi mantan istri dan keluarganya yang tinggal di Indramayu.

Namun, belum sampai ia melangkah meninggalkan minimarket, salah seorang karyawan toko yang memergokinya mengambil barang tanpa membayar menggeledahnya. Nasib Kakek Sardjo pun akhirnya berakhir di kantor polisi.

Seseorang dari desanya, ujar sang kakek itu, mau menanggung biaya kerugian yang diderita minimarket tersebut. Uang yang harus dibayar 10 kali lipat dari nilai barang, yakni Rp 135.000. Namun, apa daya, proses hukum tetap jalan terus.

Selama menjalani pemeriksaan, kakek yang berpakaian lusuh itu terpaksa meringkuk di tahanan Kepolisian Sektor Losari selama lima hari. Setelah itu, ia dipindahkan ke Rumah Tahanan Cirebon dan ditahan selama sembilan hari.

Dasar yang membuat kakek tersebut ditahan, menurut Kepala Kepolisian Resor Cirebon Ajun Komisaris Besar Sufyan Syarif, adalah ketidakjelasan identitas sang kakek. Kartu tanda penduduk yang ia bawa tidak bisa meyakinkan penegak hukum bahwa ia memang warga Tegal yang bertempat tinggal jelas dan tetap.

”Selain itu, kami sudah upayakan mediasi, tetapi kakek menolak. Di sisi lain memang ada tuntutan dari toko untuk melanjutkan kasus itu,” kata Sufyan.

Linglung dan selalu menunduk, seperti itulah gambaran Sardjo saat hadir di meja hijau. Tanpa didampingi pengacara karena miskin dan buta hukum, ia berusaha menjelaskan satu per satu apa yang ia perbuat.

Akhirnya majelis hakim memvonisnya 12 hari masa percobaan dan membebaninya biaya perkara Rp 1.000. ”Bapak dihukum 12 hari percobaan. Pak Sardjo ora perlu ngaloki hukuman ning penjara, mergo pernah ditahan (Pak Sardjo tidak perlu menjalani hukuman di penjara karena pernah ditahan),” kata hakim ketua, Sulasdiyanto, yang mencoba menerjemahkan putusan vonis dalam bahasa Jawa agar Sardjo mengerti.

Vonis itu pun dijawab Sardjo dengan anggukan dan perkataan lirih bahwa ia setuju.

Hukum telah bicara dengan memenjarakan kakek Sardjo selama 14 hari ketika masih disangka mencuri sabun dan kacang hijau. Namun, hukum buta terhadap para pencuri uang rakyat. Meski berstatus sama, mereka dibiarkan bebas, tak juga dipenjara.

Bandingkan dengan kasus lain di Cirebon ini. Sebanyak 10 anggota DPRD Cirebon periode 1999-2004, yang saat itu terlibat kasus korupsi yang terkenal dengan nama ”APBD Gate 2001”, tak pernah masuk bui.

Bahkan, Mahkamah Agung akhirnya mengeluarkan keputusan untuk meloloskan pengajuan kasasi jaksa. Proses eksekusi tidak pernah dilakukan terhadap mereka, dengan alasan pertimbangan situasi dan kondisi daerah yang tak mendukung jika mereka ditahan: kalau 10 anggota DPRD ditahan, DPRD bisa kolaps. Para terdakwa pun akhirnya melenggang bebas karena memperoleh hasil peninjauan kembali yang membebaskan mereka dari tuduhan korupsi tahun 2007.

Kasus serupa terulang tahun 2004. Kasus dugaan penyelewengan dana APBD—melibatkan 16 anggota DPRD dan Wali Kota Cirebon periode 1999- 2004—dan dikenal dengan ”APBD Gate 2004” pun lolos dari pengadilan. Mereka awalnya dijerat hukum karena penggelembungan anggaran DPRD Rp 1,3 miliar.

Namun, Kejaksaan Negeri Cirebon pada pertengahan 2008 mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan sehingga 16 orang itu lolos dari jerat hukum.

Jika disandingkan dengan kasus Sardjo atau kasus nenek Minah dari Banyumas, kasus para wakil rakyat itu adalah gambaran ironi keadilan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com