Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Santoso dan Emping Jagung dari NTT

Kompas.com - 01/02/2010, 09:11 WIB

Oleh: Kornelis Kewa Ama

KOMPAS.com — Samuel Santoso tampak begitu sibuk. Setiap hari, sejak jarum jam menunjukkan pukul 04.00 sampai pukul 22.30 waktu Indonesia tengah, ia terus bekerja di tempat kerjanya di Kupang, ibu kota Nusa Tenggara Timur. Daerah ini harus diangkat melalui kerja keras untuk mendayagunakan potensi sumber daya lokal yang ada.

Santoso menyadari, tidak mudah memulai usaha di NTT. Banyak soal harus dihadapi, mulai dari sumber daya manusia, modal, pemasaran, sampai transportasi.

"Tahun 2004 saya tiba di Kupang. Saya mempelajari sejumlah peluang usaha di sejumlah kabupaten. Lalu, saya putuskan menekuni usaha emping jagung. Seluruh daerah di NTT menanam jagung dan jagung menjadi makanan pokok masyarakat," kata Santoso di Kupang, Sabtu (16/1/2010).

Namun, pengolahan jagung di kalangan masyarakat masih sederhana. Biji jagung digoreng dan dimakan begitu saja atau ditumbuk menjadi emping seadanya. Ada pula biji jagung digiling, lalu dimasak sebagai pengganti beras. Kebiasaan ini berlangsung ratusan tahun.

Berbekal pengetahuan tentang emping jagung yang dipelajari di Yogyakarta, Santoso memberikan inspirasi baru tentang emping jagung yang gurih, higienis, berkualitas, dan mampu bersaing di pasaran.

Provinsi Gorontalo mengakui keunggulan kualitas emping jagung Santoso. Mereka minta Santoso membantu melatih petani setempat dan mengadakan mesin pemroses emping berkualitas hasil rakitan Santoso.

Setiap hari, 100 sampai 200 kilogram (kg) biji jagung bulat diproses menjadi emping. Ia menghasilkan 80 kg-180 kg emping, susut 20 persen karena kulit dan mata biji jagung dibuang.

Bahan baku jagung dibeli dari petani dengan harga Rp 2.000- Rp 3.000 per kg. Semua jenis jagung di NTT dapat dijadikan emping dengan ukuran pengembangan 2-3,5 cm setelah ditumbuk dengan mesin.

"Jagung NTT jauh lebih berkualitas dibandingkan daerah lain. Saat diolah biji jagung tidak hancur, bahkan mengembang semakin lebar meski ditumbuk dengan kekuatan 8-10 kg berat. Tetapi, jagung dari luar selalu hancur," katanya.

Lagi pula, emping jagung ini lebih gurih dari daerah lain. Padahal, Santoso hanya menggoreng dengan bawang putih tanpa bahan pengawet.

Produk emping jagung milik Santoso kini bisa ditemui di swalayan, toko, kios, dan warung makan. Emping ini tersebar di 21 kabupaten/kota se-NTT.

Padahal, Santoso hanya mendistribusikan emping itu ke Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Sikka. Semuanya semata karena keterbatasan sumber daya manusia dan modal. Kebanyakan pengusaha dari kabupaten lain membeli emping di Kupang untuk dijual di kabupaten bersangkutan.

"Tanpa promosi saja saya kewalahan layani permintaan. Tetapi, saya bekerja sesuai tenaga, modal, bahan baku, dan sumber daya manusia yang ada," katanya.

Permintaan di Kota/Kabupaten Kupang 500-1.000 kg emping jagung per hari, Timor Tengah Selatan 200 kg per hari, dan Sikka 500 kg per hari. Pengiriman emping ke tempat-tempat ini pun sesuai dengan transportasi ke daerah itu.

Emping yang didistribusikan ke setiap swalayan dan toko di empat kabupaten/kota itu dalam 1-3 hari habis diserbu konsumen. Biasanya emping itu untuk sarapan pagi, juga untuk bekal perjalanan dan oleh-oleh khas NTT. "Permintaan dari kabupaten lain di NTT sampai 2.000 kg, tapi saya tak bisa layani. Saya biarkan usaha ini berjalan secara alamiah," ujarnya.

Kemasan

Emping dikemas dalam plastik dan dapat dibawa ke mana saja. Emping buatan Santoso ini bisa bertahan sampai 5 bulan.

Ukuran 450 gram dijual Rp 8.000-Rp 8.500 per kantong, sementara ukuran 250 gram dijual Rp 5.000 per kantong. Namun, di swalayan atau toko, emping dijual Rp 10.000-Rp 15.000 per kantong. Ukuran 250 gram dijual Rp 8.000 per kg.

Santoso menawarkan emping jagung dengan rasa gurih (renyah), manis madu, dan pedas manis. Semua rasa ini yang paling disukai konsumen.

Usaha emping jagung ini kini dikelola CV El Shahadai, di mana Santoso menjadi direkturnya. Ke depan, Santoso optimistis usahanya bakal sukses karena kini warga negara Timor Leste dan Australia pun mulai tertarik. Hanya keterbatasan modal dan tenaga membuat permintaan ini belum terlayani.

Santoso mempekerjakan 10 tenaga kerja lokal dengan gaji Rp 650.000-Rp 1,5 juta per bulan. Akan tetapi, mereka sangat sulit beradaptasi. Meski sudah kerja 1-3 tahun bekerja, mereka harus terus dituntun.

Hampir setiap pekan ia diminta para pimpinan satuan kerja perangkat daerah setempat memberikan pemahaman mengenai wirausaha kepada lulusan sarjana di NTT. Santoso selalu menekankan kekayaan sumber daya alam di NTT dan bagaimana mengolahnya.

Ada sejumlah sumber daya alam NTT yang terbuang, seperti ijuk dari enau, buah lontar, asam Jawa, rebung bambu, pohon bambu, kayu putih, dan jerami. Padahal, semua ini bisa dikelola untuk menghasilkan uang yang sangat memadai.

Ia memberikan contoh orang-orang sukses berwiraswasta seperti bisnis makanan ringan, kerajinan industri rumah tangga, dan mebel. Keuntungan di bidang ini lebih menjanjikan daripada menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Menjadi PNS juga harus bertarung dengan ribuan lulusan sarjana dan sekolah menengah.

"Saya ingin bangun sikap optimisme masyarakat bahwa di NTT banyak peluang usaha. Saya justru bicara terus terang mengenai keuntungan yang saya dapatkan dari usaha emping jagung ini guna membangun naluri bisnis mereka," katanya.

Masyarakat NTT juga bisa berwiraswasta, hanya mereka butuh pendampingan dan modal usaha. Pemerintah tak hanya bicara, tetapi juga beri modal dan bimbingan kepada masyarakat.

Santoso berencana membangun pabrik emping jagung di Kota Kupang dengan produksi 30 ton jagung butir per hari dan menyerap tenaga kerja sekitar 3.000 orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com