Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Target PLN Atasi Krisis Tak Tercapai

Kompas.com - 19/05/2010, 08:08 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — PT Perusahaan Listrik Negara kesulitan mengatasi berbagai persoalan kelistrikan di kawasan Indonesia bagian timur. Target tidak ada lagi pemadaman listrik bergilir pada akhir Juni nanti terancam tidak tercapai.

Krisis kelistrikan itu bahkan terjadi di dua ibu kota provinsi, yaitu Palu dan Mataram. Karena prihatin atas kondisi kelistrikan di dua ibu kota provinsi itu, Direktur Utama PT PLN Dahlan Iskan menangis dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR, Selasa (18/5/2010) di Jakarta.

"Ini berat karena Palu itu tidak memiliki panas bumi, air tidak punya, angin tidak punya. Satu-satunya yang ada hanya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), itu pun terkendala dan tidak selesai-selesai," kata Dahlan sambil menitikkan air mata.

Operasional PLTU milik swasta di daerah itu tersendat karena PLN membeli listrik terlalu murah sehingga pengembang tidak bisa membeli batu bara untuk bahan bakar pembangkit itu.

"Kami mengambil cara berisiko. Dasar pemikiran kami, kenapa kita mau membayar listrik dari pembangkit listrik milik asing Rp 800 per kWh, tetapi tidak mau membeli dari swasta lokal Rp 700 per kWh," ujarnya.

Selama ini, PLN kesulitan menaikkan harga listrik karena aturan pemerintah melarang pembelian listrik swasta melebihi Rp 500 per kWh. Kini aturan itu dicabut. Untuk itu, PLN segera memperbaiki perjanjian pembelian listrik dari PLTU 2 x 15 megawatt itu dengan menaikkan harga beli listrik dari Rp 500 per kWh menjadi Rp 750 per kWh.

Dahlan mengaku sudah memerintahkan jajarannya menandatangani pembelian listrik dari pengembang listrik swasta lokal. Namun, bawahannya tidak bersedia menandatangani pembelian itu karena takut masuk penjara. "Saya katakan, biar saja saya yang masuk penjara. Masak pada tahun 2010 masih ada ibu kota provinsi yang belum berlistrik. Jadi, kami akan menyelesaikan dengan cara berisiko," katanya.

Adapun di Mataram, pembangkit listrik milik swasta berkapasitas 20 MW di daerah itu disita karena kredit macet sehingga tidak bisa membangkitkan listrik. "Kami negosiasi ke bank agar pembangkit boleh dijalankan meski status sita. Solusi lain, menunggu pembangkit yang sedang dalam perjalanan. Jangka panjang, perlu membangun pembangkit baru," ujar Dahlan.

Komisi VII DPR mendukung pimpinan PLN dalam melakukan terobosan untuk mengatasi krisis kelistrikan di Indonesia.

Dalam rapat itu, Komisi VII DPR meminta PT PLN membuat standar perjanjian pembelian listrik panas bumi agar menjadi acuan penentuan harga listrik.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diminta membuat surat penugasan kepada PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi hasil lelang wilayah kerja panas (WKP) bumi yang dilakukan pemerintah daerah.

Dengan surat penugasan itu, PLN tidak perlu bernegosiasi dengan pemenang lelang WKP mengenai harga jual listrik dari panas bumi. "Kebijakan penetapan harga uap panas bumi diperlukan dengan mempertimbangkan pembagian risiko yang adil dan seimbang antara PLN dan pengembang," kata Dahlan. (EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Bicara soal Pengganti Pertalite, Luhut Sebut Sedang Hitung Subsidi untuk BBM Bioetanol

Whats New
Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Bahlil Dorong Kampus di Kalimantan Jadi Pusat Ketahanan Pangan Nasional

Whats New
Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Luhut Sebut Starlink Elon Musk Segera Meluncur 2 Minggu Mendatang

Whats New
Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Kenaikan Tarif KRL Jabodetabek Sedang Dikaji, MTI Sebut Tak Perlu Diberi Subsidi PSO

Whats New
Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Bahlil Ungkap 61 Persen Saham Freeport Bakal Jadi Milik Indonesia

Whats New
Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Cadangan Beras Pemerintah 1,6 Juta Ton, Bos Bulog: Tertinggi dalam 4 Tahun

Whats New
Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Intip Rincian Permendag Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Berlaku 6 Mei 2024

Whats New
Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Whats New
Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Whats New
MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

Whats New
Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong Sebagai Presdir Baru

Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong Sebagai Presdir Baru

Whats New
Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Whats New
Bantuan Pangan Tahap 2, Bulog Mulai Salurkan Beras 10 Kg ke 269.000 KPM

Bantuan Pangan Tahap 2, Bulog Mulai Salurkan Beras 10 Kg ke 269.000 KPM

Whats New
Menperin: PMI Manufaktur Indonesia Tetap Ekspansif Selama 32 Bulan Berturut-turut

Menperin: PMI Manufaktur Indonesia Tetap Ekspansif Selama 32 Bulan Berturut-turut

Whats New
Imbas Erupsi Gunung Ruang: Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup, 6 Bandara Sudah Beroperasi Normal

Imbas Erupsi Gunung Ruang: Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup, 6 Bandara Sudah Beroperasi Normal

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com