Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenaikan TDL Sarat Rekayasa

Kompas.com - 21/05/2010, 05:07 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana kenaikan tarif dasar listrik semakin menuai penolakan. Meskipun kenaikan TDL harus mendapat restu parlemen, kebijakan negosiasi atau kerap dikenal business to business yang diterapkan PT Perusahaan Listrik Negara semata-mata sarat rekayasa tidak sehat.

Sejumlah pengusaha di Jakarta, Kamis (20/5), secara tegas kembali menolak rencana kenaikan TDL setelah surat yang dilayangkan kepada Presiden, awal pekan Mei, belum mendapatkan respons positif pemerintah.

Sebelumnya, sebanyak 28 asosiasi menolak kenaikan TDL dengan mendorong pemerintah untuk mengoptimalkan kebijakan energi. Pemanfaatan batu bara dan gas dinilai belum dilakukan secara maksimal sehingga kenaikan TDL dipandang sebagai satu-satunya solusi.

Ketua Koordinator Forum Lintas Asosiasi Franky Sibarani mengatakan, ”Forum ini bukan sekadar menolak kenaikan TDL, melainkan juga menolak akal-akalan PLN yang masih saja menjadikan pembicaraan business to business seolah sebagai solusi.”

Menurut Franky, pengusaha mulai merasakan ”B to B” bukan lagi sarana efektif untuk memecahkan kebuntuan kenaikan TDL. Selain negosiasi tarif, pengusaha tetap saja dibebani dengan tarif multiguna, daya maksimum, dan berbagai tarif lain yang terkait kebijakan kelistrikan.

Bahkan, penyediaan listrik dipandang kini sebagai ”alat pemerasan” baru. Setiap investor yang akan berinvestasi membangun industri di Indonesia juga diharuskan membangun dahulu infrastruktur jaringan listrik sendiri, mulai dari penyediaan tiang listrik, gardu, hingga travo.

Secara terpisah, Direktur Bisnis dan Manajemen Risiko PT PLN Murtaqi Syamsudin membantah bahwa kebijakan negosiasi antara PLN dan pelanggan industri sebagai akal-akalan. ”Penerapan layanan-layanan khusus itu konteksnya ”B to B” karena ada tingkat layanan khusus yang disepakati untuk para pelanggan baru,” ujarnya.

Adapun kebijakan pembatasan daya maksimum bagi pelanggan industri yang dilakukan sejak beberapa tahun terakhir bertujuan membatasi pertumbuhan beban puncak. Jadi, para pelanggan besar didorong mengurangi pemakaian listrik saat beban puncak. ”Hal ini terbukti memperbaiki perbandingan beban puncak dengan beban rata-rata, dari 72-74 persen menjadi 85 persen,” kata dia.

Jangka panjang

Dampak kenaikan TDL dalam jangka panjang hendaknya dilihat secara komprehensif oleh pemerintah. Bukan hanya industri besar yang sulit bersaing, melainkan juga industri kecil dan menengah.

Ketua Bidang Industri Minuman Teh Asosiasi Minuman Ringan Indonesia Riyanto mengatakan, ”Posisi industri sangat lemah. PLN diam-diam ikut menghancurkan daya saing industri dalam negeri.”

Menurut Riyanto, kebijakan TDL yang kemudian membuka peluang dilakukannya negosiasi ”B to B” menyebabkan tarif listrik yang dikenakan antarindustri berbeda-beda. Bahkan, industri yang memproduksi produk yang sama juga berbeda.

Dari temuan Forum Lintas Asosiasi, tarif listrik dari hasil negosiasi ”B to B” sebesar Rp 930 hingga Rp 1.300 per kWh. Ini jauh berbeda dari tarif reguler yang hanya Rp 439 per kWh.

Ketua Unit Kaca Pengaman Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Yustinus HG mengatakan, ”Ironisnya, penentuan tarif ini juga sangat subyektif karena besarnya tarif sangat tergantung kepala unit PLN di daerah masing-masing.”

Yustinus mengatakan, industri kaca hanya bisa pasrah terhadap kenaikan TDL. Mengurangi bahan baku hanya akan memperburuk kualitas sehingga kenaikan TDL 10 persen saja akan berdampak pada kenaikan harga jual kaca sebesar 3-5 persen.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bakery Indonesia Chris Hardijaya menegaskan, ”Pengusaha kelas menengah dan atas bisa saja bertahan dengan kenaikan TDL, tetapi kelas bawah akan mati.” (OSA/EVY)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com