Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Irfan Amalee, Penyemai Jiwa-jiwa Damai

Kompas.com - 19/08/2010, 12:14 WIB

KOMPAS.com - Mencegah konflik tak kalah penting ketimbang menyelesaikannya. Keyakinan inilah yang dipegang Irfan Amalee, 32 tahun, saat menggagas The Peace Generation Project pada 2007 lalu. Menurut pemimpin penerbitan Pelangi Mizan ini, kebanyakan konflik tumbuh dari prasangka, dan prasangka lahir dari ketidakmengertian terhadap pihak lain. Prasangka miring bisa terkikis jika hadir infomasi yang jernih dan dikemas dengan manis sejak usia dini.

Modul Pendidikan Perdamaian adalah karya pertama Peace Gen. Modul ini kemudian dilengkapi dengan buku-buku. Selanjutnya, dengan menggandeng beberapa mitra, proyek ini menggelar pelatihan untuk pelatih, guru, dan fasilitator komunitas dari dalam dan luar negeri. Peserta pelatihan, sekitar 500 orang, kemudian mendistribusikan buku-buku tersebut langsung dari pintu ke pintu ke rumah-rumah, sekolah-sekolah, dan lembaga-lembaga nonpemerintah di daerah konflik seperti Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi.

Proyek Irfan tak serta-merta disambut hangat. “Awalnya banyak penolakan, kami dianggap membawa agenda Barat,” kata Irfan. Namun, sering waktu semakin banyak orang yang  melihat manfaat program Peace Gen dan memberikan dukungan. Para guru, misalnya, menyebut setelah pendidikan perdamaian digelar, anak didik secara umum menjadi lebih toleran, menghargai perbedaan, dan berkurang agresivitasnya.

Yang tak kalah menggembirakan, keberhasilan misi Peace Gen juga sejalan dengan laju kewirausahaan sosial yang melekat padanya. Saat ini, telah terbangun jaringan 15.000 pelajar dan 100 agen perdamaian di seluruh Indonesia. Mereka membangun wirausaha komunitas seperti toko buku, pusat pelatihan dan klub buku yang tiap bulannya bisa beromzet puluhan juta rupiah. “Tanpa menyentuh komunitas, Peace Gen hanya akan mengawang-awang dan tidak jelas penerima manfaatnya,” ujar suporter berat Persib ini.

Asyiknya, Ifran tak membatasi dirinya dengan media buku saja. Ayah dua anak ini juga membuat film cerita dan dokumenter. Salah satu karya alumni Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut, dan Jurusan Tafsir-Hadis IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ini adalah Breaking Down The Walls, sebuah dokumenter yang mengisahkan kunjungan siswa-siswa sekolah internasional di Bandung ke sebuah pesantren. “Semula, mereka menganggap pesantren identik dengan sarung dan kolam lele. Setelah kunjungan, langsung berbalik 180 derajat,” kata Irfan. Breaking antara lain pernah diputar di Hungaria.  

Ke depan, Irfan ingin mendirikan PeaceShops, PeaceCorners, dan PeaceStores yang semuanya kelak akan dikelola oleh komunitas lokal yang sudah terbentuk.

Pilihan-pilihan Irfan memang tak lazim bagi kebanyakan orang seusianya. Tapi, ia mengaku mendapat ilham dari dari tokoh-tokoh hebat. Salah seorang yang paling dikaguminya adalah K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Menurutnya, sejak muda Ahmad Dahlan berani menyatakan sikap dengan risiko dimusuhi orang. “Bagi saya, kepahlawanan adalah sikap berani menempuh jalan sulit dan menunda kesenangan demi kemenangan orang banyak,” kata Irfan.

Bagaimana dengan pahlawan masa kini? Di mata pemenang nasional International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Communication Award 2009, yang pantas disebut pahlawan saat ini dan masa mendatang adalah para wirausahawan sosial.(British Council)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com