Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penerapan Tenaga Kerja Alih Daya Menyimpang

Kompas.com - 10/11/2010, 11:38 WIB

BANDUNG, KOMPAS - Penerapan kebijakan tenaga kerja alih daya (outsourcing) pada lingkungan industri di Jawa Barat masih banyak menyimpang dari UU Ketenagakerjaan. Selain dipekerjakan di semua lini usaha, upah tenaga alih daya juga lebih rendah 17 persen dari buruh tetap dan kontrak.

Peneliti dari Pusat Penelitian Sosial Akatiga Rina Herawati, Selasa (9/11), menjelaskan, sesuai Pasal 66 Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, tenaga alih daya seharusnya hanya dapat dipekerjakan di bidang pelayanan kebersihan, penyediaan makanan (katering), tenaga pengamanan, jasa penunjang pertambangan, dan penyediaan angkutan kerja.

Namun, dari penelitian Akatiga bersama Federasi Serikat Pekerja Metal Seluruh Indonesia dan Friedrich Ebert Stiftung soal pekerja alih daya, 598 responden yang diteliti ternyata bekerja pada lini-lini usaha yang sama dengan buruh tetap. ”Ini tidak adil. Hak-hak mereka berbeda, tetapi beban kerjanya sama,” ujarnya.

Dari 598 buruh yang diteliti, 289 buruh di antaranya berasal dari 140 perusahaan di Jawa Barat. Tragisnya, ketimbang dua provinsi lain yang diteliti, Kepulauan Riau dan Jawa Timur, temuan upah terendah buruh alih daya berada di Jabar yakni Rp 205.000 per bulan, jauh di bawah upah minimum kabupaten/kota yang rata-rata Rp 900.000 per bulan.

Selain itu, sebagian besar perusahaan juga membatasi pekerja kontrak dan alih daya pada rentang usia 18-24 tahun. Padahal, hal ini melanggar konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No 111 tentang antidiskriminasi karena menutup kesamaan kesempatan bagi buruh dalam kelompok usia produktif dan buruh menikah yang harus menghidupi keluarganya.

Perbedaan persepsi

Menurut Rina, masih ada beda persepsi di kalangan pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh tentang konsep tenaga alih daya ini. Perbedaan penafsiran itulah yang memicu silang sengketa dan pelanggaran.

Salah satu contohnya, terkait penggunaan tenaga kerja alih daya di lini utama produksi. Sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 220/2004 Pasal 6, perusahaan pemberi pekerjaan wajib membuat alur kegiatan pelaksanaan pekerjaan. Berdasar alur tersebut, dapat ditentukan jenis-jenis pekerjaan utama dan penunjang. Laporan diserahkan kepada dinas tenaga kerja setempat.

”Nyatanya, hampir tidak ada perusahaan yang menyerahkan laporan itu. Akibatnya, aturan outsourcing di satu perusahaan terkesan tidak jelas,” tutur Nurul Widyaningrum, Direktur Eksekutif Akatiga.

Terkait rencana revisi UU 13/2003, Ketua Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jabar Roy Jinto mengatakan, buruh menolak ide itu sebab rancangan yang beredar di kalangan buruh dituding memihak pengusaha. Beberapa hal yang akan merugikan buruh, di antaranya, pengurangan hitungan pesangon dan pengurangan penghitungan penghargaan masa kerja. (GRE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com