Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PT KAI Emban "Mission Impossible"?

Kompas.com - 20/01/2011, 07:06 WIB

KOMPAS.com — PT Kereta Indonesia Api (Persero) memiliki mission impossible, yaitu mengangkut penumpang dengan layanan sebaik mungkin, tetapi dengan fasilitas yang amat minim.

Tidak ada operator yang ”dipaksa” beroperasi seperti PT KAI. Di penerbangan, misalnya, penyelenggaraan penerbangan setidaknya melibatkan maskapai penerbangan dan pengelola bandara, yakni PT Angkasa Pura. Di penyeberangan, ada perusahaan feri dan pengelola pelabuhan, yakni PT Indonesia Ferry. Selain itu, di penerbangan ada air traffic control dan di pelayaran ada administrator pelabuhan yang mengontrol kapal.

Sementara PT KAI menjadi operator sekaligus pengelola stasiun dan pengatur jadwal. Selain itu, PT KAI masih harus menempatkan pegawai di tiap pintu pelintasan dan memelihara rel tanpa ada bantuan dana dari pemerintah.

Telah dibuat

Skema dana subsidi (PSO), dana pemeliharaan (IMO), dan biaya prasarana (TAC) disodorkan kepada pemerintah. Akan tetapi, itu berhenti pada skema karena pemerintah tak juga memenuhi dana PSO itu. Tahun 2011, PT KAI mengusulkan PSO Rp 775 miliar, tetapi yang dipenuhi hanya Rp 639 miliar.

UU Perkeretaapian, yang menugaskan pemerintah menyediakan transportasi massa yang layak, tak juga dilaksanakan. Tiga tahun telah berlalu sejak UU itu diundangkan, tetap saja tak ada bantuan signifikan untuk PT KAI agar perkeretaapian membaik.

Padahal, kini penumpang kian kritis dan menuntut pelayanan lebih. Mereka menuntut jaminan keselamatan dan kenyamanan karena telah membayar tiket.

Peningkatan pelayanan harus dilakukan agar masyarakat tertarik menggunakan KA sebagai transportasi utama, bukan lagi mobil pribadi. Dengan demikian, kemacetan, terutama di Jakarta, dapat terurai. Biaya tinggi transportasi juga dapat direduksi.

Lambat laun muncul kesadaran masyarakat, khususnya penumpang KA, untuk membantu pemerintah mengatasi terbatasnya dana untuk membangun perkeretaapian yang lebih baik. Ini yang disebut oleh aktivis Hendardi sebagai freedom of movement.

Kesadaran penumpang kereta itu terwakili oleh penumpang-penumpang kereta yang berbicara di Seminar Standar Pelayanan Minimum (SPM), Rabu (19/1/2011) di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com