Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sopir Mikrolet Pun Tidak Tahu Pembatasan BBM Bersubsidi

Kompas.com - 24/02/2011, 04:03 WIB

Triyono (52) duduk santai di kursi pengemudi mikrolet M-01, Rabu (23/2). Dia adalah salah satu sopir dari enam mikrolet yang disewa Pemprov DKI Jakarta untuk mengikuti kegiatan penempelan stiker uji coba subsidi bahan bakar minyak di Terminal Senen.

Hampir setengah hari dia tidak narik demi acara itu. Namun, dia mengaku tidak tahu persis bagaimana mekanisme pembelian BBM bersubsidi untuk angkutan umum bila kebijakan pembatasan penjualan BBM bersubsidi jadi diterapkan oleh pemerintah.

”Kalaupun dibatasi, saya belum tahu angkutan umum akan mendapatkan jatah berapa liter per hari. Kalau BBM yang dijatah itu cukup untuk perjalanan selama sehari, ya tidak masalah. Tetapi kalau kurang mungkin kami memilih untuk tidak beroperasi saja,” katanya.

Dengan kendaraan baru keluaran tahun 2010, Triyono harus memberikan setoran Rp 140.000 per hari atau lebih mahal ketimbang mobil lawas yang setorannya antara Rp 90.000-Rp 100.000 per hari. Setoran itu tidak boleh kurang karena pemilik angkutan harus membayar angsuran dan merawat kendaraan termasuk penggantian onderdil.

Untuk setoran serta mendapatkan uang lebih agar bisa dibawa pulang, Triyono bolak-balik sepanjang 14 kilometer untuk melintas di jalan antara Terminal Senen-Kampung Melayu mulai pukul 04.30-23.00. Selama waktu itu dia membutuhkan bensin sekitar 50 liter.

Sitorus (50), sopir mikrolet M-01A trayek Kampung Melayu–Senen lewat Matraman dan Salemba, juga belum mendapatkan penjelasan mengenai rencana pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, rencana awal pembatasan penjualan BBM bersubsidi dimulai 1 April mendatang.

Bahkan, informasi seputar pembatasan penjualan BBM bersubsidi itu masih simpang-siur di kalangan para sopir. ”Saya baru dengar dari sopir-sopir lainnya, hari ini (Rabu) bensin akan mulai dibatasi,” kata Sitorus ketika ditemui di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) Jalan Raya Jatinegara Timur, Jakarta Timur, kemarin.

Sitorus menyatakan khawatir pendapatannya akan turun apabila pembelian premium untuk mikrolet dibatasi. Kalau bensin dibatasi, otomatis jumlah perjalanan berkurang dan akhirnya pendapatannya turun.

”Dalam sehari saya biasa membeli 30 liter. Itu cukup untuk 10 rit,” kata Sitorus yang menjalankan mikrolet bersama seorang sopir pengganti.

Mereka rata-rata mendapatkan Rp 400.000 per hari. Sejumlah Rp 120.000 disisihkan untuk membayar setoran, Rp 135.000 untuk membeli premium, dan Rp 8.000 untuk membayar timer atau petugas pengatur. Sisanya, sekitar Rp 137.000 dibagi dua sopir.

Sitorus menyatakan, pembatasan premium bersubsidi tidak tepat diberlakukan untuk mikrolet, tetapi seharusnya diterapkan pada kendaraan pemerintah.

”Kalau mikrolet yang dibatasi, itu sama saja membunuh mikrolet dengan pelan-pelan,” ujar Sitorus.

Adapun Asmi, sopir mikrolet lainnya, mengatakan, kebutuhan premium sebuah mikrolet ratarata 40 liter per hari.

Menurut Asmi, mereka harus mengembalikan mikroletnya dalam kondisi mobil terisi cukup bahan bakar untuk hari berikutnya.

Jangan disamakan

Rohman, sopir mikrolet M-09 di Kebayoran Lama, mengatakan, kalau memang ada pembatasan harus ada hitunghitungan yang tepat dulu terkait kebutuhan setiap angkutan umum. ”Kalau saya dari pagi sampai sore bolak-balik Tanah Abang-Kebayoran Lama paling tidak habis Rp 100.000. Soalnya sekarang banyak kena macet, bensin boros. Mungkin berbeda dengan kebutuhan bensin angkot dari Kebayoran Lama ke Ciledug,” katanya.

Jika pembatasannya disamaratakan, Rohman khawatir bakal memicu kekacauan karena yang kekurangan pasokan bahan bakar bisa protes.

(NEL/COK/ART)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com