Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Cocok buat Padat Karya

Kompas.com - 01/03/2011, 03:12 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana kebijakan penurunan tarif listrik industri sebesar 20 persen lebih dapat dimanfaatkan industri yang memang dominan menggunakan energi listrik sebagai kegiatan industri.

Kebijakan ini belum tentu menjadi pilihan terbaik bagi industri padat karya mengingat efisiensi dalam menunjang daya saing telah dilakukan melalui pengurangan penggiliran waktu kerja.

Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Franky Sibarani di Jakarta, Senin (28/2), mengatakan, ”Kebijakan PLN itu sangat mendukung industri yang selama 24 jam menggunakan energi listrik, tetapi bukan keuntungan bagi industri padat karya sebab selama ini industri berbasis padat karya telah membuat terobosan dengan mengurangi penggiliran waktu kerja.”

Franky mengatakan, Apindo sangat mendukung langkah PLN. Hal ini pernah dibahas bersama antara PLN dan Apindo. Pada waktu, sebagaimana ditentukan PLN, antara pukul 23.00 dan pukul 07.00, umumnya banyak industri tidak beroperasi atau tidak beroperasi secara penuh. Kebijakan ini akan memberi manfaat bagi industri yang mengonsumsi listrik 24 jam dan industri yang banyak menggunakan listrik, tetapi tidak efektif bagi industri padat karya.

Menurut Franky, daya saing adalah kuncinya. Oleh karena itu, industri padat karya harus mempertimbangkan komponen pengeluaran, dari energi listrik, sistem distribusi, logistik, hingga biaya buruh, serta jauh-jauh hari sudah mengencangkan ”ikat pinggang” dengan mengurangi pengggiliran dari tiga menjadi dua kelompok kerja. Ini terjadi sejak PLN memberlakukan sistem tarif disinsentif daya max.

”Kalau industri harus mengembalikan ke tiga penggiliran waktu kerja kembali, pelaku industri harus mempertimbangkan biaya buruh yang semakin mahal. Sekali lagi, persoalannya adalah daya saing mengingat produk jadi dari industri pun di pasar harus bersaing dengan produk asing yang legal ataupun produk ilegal yang masih tidak mampu dikendalikan pemerintah,” ujar Franky.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Gabungan Pengusaha Elektronik Yeane Keet mengatakan, ”Industri elektronik sangat terbuka dengan insentif semacam ini. Ini bisa mendorong industri untuk bekerja maksimal pada jam-jam tersebut. Namun, kebijakan ini hanya bermanfaat bagi industri yang banyak mengonsumsi tenaga listrik, bukan industri padat karya. Ini harus dipertimbangkan pemerintah, bukan hanya PLN.”

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ernovian G Ismy menyambut baik kebijakan PLN. Namun, hal ini hanya bisa diterima industri tekstil mengingat industri tekstil yang terdiri dari proses pemintalan, tenun, rajut, pencelupan kain, hingga percetakan berbasis teknologi permesinan. Industri ini hanya membutuhkan mekanisme pengawasan terhadap kerja mesin.

”Industri tekstil tentu bisa menyetujui kebijakan PLN ini. Untuk bisa mendorong daya saing, insentif hendaknya bukan cuma 20 persen, tetapi bisa lebih tinggi dari 25 persen. Sebab, PLN sampai sekarang masih mengenakan penalti 50 persen bagi industri yang nekat menggunakan pada waktu beban puncak,” ujar Ernovian.

Adapun industri garmen tidak bisa sepenuhnya memanfaatkan insentif PLN ini. Ini masalah sumber daya manusia. Garmen butuh keakuratan proses produksi. Ketika beban puncak diberlakukan, industri garmen sudah melakukan efisiensi dengan mengurangi shift kerja untuk menghindari kegiatan pada saat beban puncak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com