Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Malinda dan Mitos Perbankan

Kompas.com - 08/04/2011, 14:54 WIB

KOMPAS.com — Skandal penggelapan dana nasabah Citibank oleh Malinda Dee membuktikan bahwa mitos kejayaan dan profesionalisme Citibank rapuh.

Terdapat keterkaitan tiga isu utama dunia: pencucian uang oleh para koruptor melalui perbankan global; eksploitasi dana haram—plus sebagian dana halal—nasabah oleh eksekutif perbankan yang dicemplungkan ke dalam kasino derivatif global yang tak aman; serta kegagalan pemerintah ataupun otoritas global mengarahkan dana perbankan untuk pembangunan sektor riil.

Pembobolan Citibank oleh Malinda, penggelapan oleh Bernie Madoff, serta skandal spekulasi dan manipulasi valas Nick Leeson dan Dicky Iskandardinata yang membangkrutkan Barings dan Bank Duta harus kita pahami sebagai modus dan gejala universal.

Sampai di mana otoritas moneter suatu negara-bangsa dan otoritas moneter global bisa membenahi penyakit ini dalam konteks yang lebih struktural untuk menciptakan arsitektur keuangan global yang bertanggung jawab, transparan, dan bermanfaat bagi kebutuhan dunia akan pembangunan sektor riil? Perlu aliran dana guna meningkatkan kesejahteraan manusia secara lebih mangkus.

Laba terbesar

Anthony Sampson dalam buku The Money Lenders, mengutip pernyataan Walter Wriston, petinggi Citibank kurun 1970-an, menyatakan, keuntungan terbesar Citibank diraup dari cabang Jakarta. Ketika bank itu buka cabang pada 1967, modal setornya hanya 1 juta dollar AS. Modal itu pasti hanya dipakai untuk beli atau sewa kantor. Lalu, perusahaan AS yang berinvestasi di Indonesia menjadi nasabah, disusul oleh masyarakat perusahaan dan perorangan Indonesia. Nah, dengan modal reputasi dan kepercayaan terhadap Citibank itu, cabang Jakarta—satu-satunya di Indonesia—jadi juara penyetor untung bagi Citibank global.

Wartawan Vincent Lingga pernah mengeluh, tabungannya selama 30 tahun sebagai wartawan terkuras habis karena dibelikan produk keuangan Lehman Brothers yang dibiarkan bangkrut oleh Presiden Bush dan memicu krisis keuangan AS dan global pada 2008. Vincent membeli produk derivatif itu oleh bujukan pegawai Citibank. Bandingkan dengan Robert Tantular dan Bank Century yang menjual sekuritas Antaboga.

Arsitektur keuangan global era 1980-an memang didominasi produk derivatif yang sangat tak terkait dengan sektor riil. Dana yang berputar triliunan dollar AS di rekening antarbank sedunia, milik pelbagai perusahaan dan nasabah kakap koruptor ataupun konglomerat sejati, sebagian besar justru tak pernah menyentuh sektor riil, seperti infrastruktur.

Karena itulah, Wapres AS Joseph Biden mengusulkan pembentukan Bank Infrastruktur AS karena prasarana jalan dan jembatan serta perkeretaapian di AS kumuh dan lamban seperti Dunia Ketiga.

Direktur Pengelolaan IMF Dominique Strauss-Kahn, Selasa lalu di Washington DC, menyatakan bahwa perbankan dan sistem moneter dunia harus segera menggebrak sektor riil pembangunan infrastruktur serta kebutuhan pangan, energi, dan pemenuhan kebutuhan primer masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan. Semua itu memerlukan kebijakan agar dana yang terhimpun pada sistem moneter global bisa dimanfaatkan dan diinvestasikan di sektor riil jangka menengah-panjang dan bukan sekadar dikonsumsi atau dispekulasikan dalam kasino derivatif global.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com