Palu, Kompas
Hal ini mengemuka dalam Seminar Nasional Agribisnis di Palu, Sulteng, Sabtu (9/7). Hadir sebagai pembicara, antara lain Rektor Universitas Tadulako sekaligus pakar pertanian, M Basir Cyio; Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola; serta perwakilan dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Kementerian Pertanian.
Di Sulteng terdapat sembilan sentra kakao, yakni Donggala, Sigi, Parigi Moutong, Poso, Morowali, Tolitoli, Buol, Banggai, dan Banggai Kepulauan. Setiap tahun, ekspor kakao Sulteng mencapai 120.000-130.000 ton.
Dalam lima tahun terakhir ini, produksi kakao Sulteng cenderung stagnan di angka 130.000 ton, bahkan kerap turun di 120.000 ton. Penyebabnya adalah serangan hama dan penyakit tanaman. Di samping itu, usia tanaman kakao rata-rata di atas 20 tahun.
Peremajaan diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan menghambat penyebaran hama dan penyakit tanaman. Program Gerakan Nasional Kakao yang dimulai sejak tahun 2008 dilakukan untuk meremajakan tanaman kakao. Peremajaan dilakukan dengan cara sambung samping. Menurut rencana, program ini sebenarnya akan berakhir tahun 2011. Namun, saat ini sedang dibicarakan untuk diperpanjang hingga tahun 2012, bahkan 2014.
Saat ini, produktivitas kakao di Sulteng rata-rata 500 kilogram per hektar. Padahal, jika diremajakan dan tidak terserang hama dan penyakit tanaman, produktivitas bisa meningkat hingga 1,2 juta ton per hektar. Artinya, apabila produktivitas merata di angka 1 juta ton saja produksi kakao Sulteng bisa mencapai 240.000 ton per tahun.
”Sudah tiga tahun Gerakan Nasional Kakao berjalan, di Sulawesi Tengah baru 40.000 dari sekitar 240.000 hektar kebun kakao yang tersentuh program peremajaan dan pemberantasan penyakit kakao,” kata Longki Djanggola.
M Basir Cyio mengingatkan pemerintah pusat agar lebih berpihak kepada petani atau sektor pertanian dan perkebunan, terutama politik anggaran. ”Kalau memang melihat pertanian penting seharusnya anggaran ke sektor pertanian ditambah. Ini penting agar petani juga bisa berdaulat,” kata Basir.