Jakarta, Kompas -
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar di Jakarta, Selasa (2/8). Pemerintah dan DPR masih membahas Rancangan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
”Sebenarnya, sangat mampu APBN kita menanggung jaminan sosial yang memang dilakukan secara bertahap. Dananya bisa dialokasikan dari pos bantuan sosial sehingga tidak akan mengganggu ruang fiskal yang berkisar 9 persen,” ujarnya.
Pembahasan RUU BPJS selama dua bulan terakhir penuh perdebatan, antara lain soal kemampuan negara mengiur dan peralihan PT Jamsostek (Persero), PT Askes (Persero), PT Taspen (Persero), dan PT Asabri kepada BPJS baru. DPR menginginkan keempat BUMN beralih menjadi BPJS, sementara pemerintah ingin membentuk BPJS jaminan kesehatan dasar bagi rakyat miskin.
Pemerintah mengalokasikan dana bantuan sosial senilai Rp 86 triliun dalam APBN 2011, naik dari Rp 68,6 triliun tahun 2010 dan Rp 73,8 triliun tahun 2009. Saat ini, pemerintah sudah menanggung jaminan kesehatan masyarakat bagi 76,4 juta rakyat miskin ditambah pemerintah daerah yang sudah menanggung sedikitnya 31 juta rakyat dalam program Jamkesda.
Menurut Timboel, pemerintah dibayangi ketakutan defisit bakal naik jika harus menanggung iuran jaminan sosial. Kondisi ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan karena rakyat akan memahami sepanjang defisit APBN terjadi demi menjalankan jaminan sosial seperti yang terjadi di Amerika Serikat saat ini.
Secara terpisah, Wakil Presiden RI periode 2004-2009 Muhammad Jusuf Kalla menyatakan, empat lembaga, yaitu Jamsostek, Taspen, Askes, dan Taspen, memiliki fungsi yang berbeda sehingga tidak bisa digabungkan dalam satu BPJS.
Namun, keempat lembaga tersebut harus keluar dari badan hukum BUMN menjadi bersifat nirlaba serta berbentuk wali amanat.
”Tidak mungkin uang kepesertaan buruh dan pekerja