Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Target Tinggi, Anggaran Tak Mendukung

Kompas.com - 12/08/2011, 04:25 WIB

Namun, jumlah tersebut tidak banyak ”berbunyi” di lapangan. Nyatanya, pemerintah belum menghasilkan bendungan baru setelah reformasi. Saluran irigasi lama pun banyak yang rusak karena tidak ada anggaran untuk memelihara.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Nasional yang juga anggota Dewan Air Nasional Winarno Tohir menyebut, dari target areal yang tercakup oleh irigasi pada tahun 2009 seluas 7,2 juta ha, yang terbangun 6,7 juta ha. Dari yang terbangun itu, 1,5 juta ha sistem irigasinya rusak.

”Saluran yang rusak lebih banyak daripada yang diperbaiki. Jadi, untuk impas saja sulit, apalagi membangun yang baru. Anggaran tidak disediakan,” kata Winarno.

Janji pemerintah mencetak sawah baru untuk memenuhi target swasembada beras juga tak terealisasi. Badan Pusat Statistik mencatat, tiap tahun alih fungsi lahan sawah besarnya 110.000 ha, tetapi pencetakan sawah baru hanya 15.000-30.000 ha per tahun.

Meski kelihatannya angka subsidi benih besar, yaitu Rp 1,9 triliun, itu hanya memenuhi separuh dari luas panen padi yang 13,5 juta ha.

Kredit KKPE sangat rendah serapannya karena mensyaratkan agunan walaupun pemerintah memberi subsidi bunga. ”Kalau petani disuruh menyerahkan agunan, mana bisa? Sebagian besar tanah pertanian mereka tidak bersertifikat, sementara biasanya bank minta agunan sertifikat tanah,” tambah Winarno.

Prakarsa lokal

Keadaan di daerah sangat tergantung pada kepala daerah setelah otonomi daerah. Dalam diskusi Dewan Ketahanan Pangan di Bogor, Camat Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah, Agus Salim, menuturkan upayanya meningkatkan produksi padi di daerah endemik serangan wereng selama beberapa tahun terakhir.

Dia menjelaskan, dana di kabupaten tidak ada untuk pembangunan pertanian, apalagi di kecamatan. Hanya inisiatif kepala daerah setempat yang bisa mengubah daerah endemis wereng itu menjadi daerah penghasil padi, dengan memotivasi kepala desa dan para petani.

Gubernur Jateng Bibit Waluyo meskipun menyatakan komitmennya terhadap pembangunan pertanian, mengingat wilayahnya sebagian besar masih wilayah agraris, dia menuntut komitmen dan konsistensi pemerintah pusat. Dia mencontohkan, karena Bulog tak membeli beras petani saat panen, lalu meski ada Inpres No 8/2011 yang membolehkan Bulog membeli gabah petani dengan harga fleksibel untuk memenuhi stok nasional, dalam kenyataan hal itu tak terpenuhi. Dari target 57.000 ton pengadaan, hanya tercapai 48.000 ton. Itu pun sudah yang tertinggi se-Indonesia.

Kalau begitu, tidak berlebihan tuntutan untuk adanya komitmen dan konsistensi kebijakan, terutama dalam penganggaran dengan menetapkan prioritas pembangunan secara jelas dan tegas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com