Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan Geotermal dari Subsidi BBM

Kompas.com - 10/09/2011, 04:23 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah didorong membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi sendiri. Hal ini untuk menjaga ketahanan energi negara. Kendala mendanai proyek bernilai triliunan rupiah itu bisa didapatkan dari penghapusan ataupun pengurangan subsidi bahan bakar minyak.

Konsultan Proyek International Institute for Sustainable Development, Lucky A Lontoh, Jumat (9/9), di Jakarta, menjelaskan, kondisi Indonesia saat ini tersandera oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM). Menurut dia, rencana penghapusan subsidi itu selalu dihadang manuver politik dengan dalih kepentingan konstituen.

”Tujuan subsidi hanya dirasakan sedikit masyarakat yang membutuhkan. Dana subsidi sebenarnya bisa dialihkan untuk kepentingan lebih besar, yaitu ketahanan energi dengan membangun pembangkit listrik tenaga panas bumi (geotermal) yang potensinya besar, tetapi masih minim digunakan,” kata dia.

Lucky memaparkan, subsidi BBM dan listrik pada 2011 mencapai Rp 136,6 triliun atau 72,8 persen dari berbagai jenis subsidi. Untuk subsidi BBM saja Rp 95,9 triliun. Adapun untuk eksplorasi geotermal, ia menaksir membutuhkan biaya 20 juta dollar Amerika Serikat (Rp 170 miliar).

Dikuasai swasta

Pembangkit listrik geotermal di Indonesia saat ini dikuasai swasta atau perusahaan multinasional. Hal ini, menurut dia, menyebabkan negara lemah mengingat energi listrik merupakan pilar pembangunan dan berpotensi menjadikan pemerintah bergantung pada swasta. Energi geotermal di Indonesia diprediksi bisa menghasilkan listrik 27,51 gigawatt dan kapasitas terpasang 1,052 gigawatt.

Lebih lanjut, Lucky mengatakan, pemenuhan kebutuhan BBM melalui impor juga membahayakan keuangan negara jika subsidi diteruskan.

Di sisi lain, ia mengakui, penghapusan subsidi BBM tidak mudah karena bisa berdampak pada inflasi atau kenaikan harga.

”Hal ini bisa diatasi melalui penyaluran sebagian dana subsidi untuk membantu program- program kompensasi bagi warga yang terimbas di masa transisi. Akan tetapi, hal itu harus tepat sasaran agar tidak menjadi masalah,” kata Lucky.

Program penting

Sementara itu, Koordinator Wilayah Asia Timur Organisasi Lingkungan Internasional 350.org, Rully Prayoga, mengatakan, pengembangan dan implementasi sumber energi nonfosil merupakan program penting. Ini karena Indonesia terlalu bergantung pada bahan bakar fosil yang melepaskan emisi karbon dan berperan utama dalam pemanasan global.

”Sekitar 90 persen tingkat konsumsi energi kita berasal dari energi primer minyak/gas dan batubara,” kata Rully.

Dengan fakta ini, ia mengingatkan pemerintah akan komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020.

Ia ragu hal ini dapat dipenuhi jika subsidi BBM masih diberikan dan tidak dilakukan pengembangan sumber energi nonfosil, seperti geotermal.

Dari catatan Kompas, selain tergolong energi terbarukan dan tidak menimbulkan pencemaran udara, Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia yang mencapai 20.000 MWe (megawatt ekuivalen minyak). Berdasarkan data Asosiasi Panasbumi Indonesia (2002), baru beberapa sumber panas bumi yang dimanfaatkan, yaitu Kamojang (140 MW), Awibengkok (330 MW), Darajat (145 MW), dan Wayang Windu (110 MW). (ICH)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com