JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai ultimatum yang dikeluarkan Kepolisian Resor Timika, Papua, untuk membubarkan blokade karyawan di areal PT Freeport Indonesia dinilai dilakukan secara sepihak.
Koordinator Kontras Haris Azhar mengatakan, surat berisi ultimatum bernomor B/174/X/2011/Res Mimika tersebut terkesan menuduh karena tidak adanya konsolidasi terlebih dahulu dengan pihak yang melakukan unjuk rasa.
"Adalah suatu kewajaran bagi setiap orang yang bekerja di suatu perusahaan menuntut hak-haknya secara normatif guna menjamin penghidupannya menjadi layak," ujar Haris saat melakukan konferensi pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Senin (31/10/2011).
Ditambahkan, terkait aksi mogok tersebut juga telah dijamin dalam Pasal 25 Undang-Undang No 21 Tahun 2002 tentang Serikat Pekerja yang menyatakan serikat buruh berhak melindungi, membela, dan memperjuangkan kepentingan anggotanya.
"Dan, polisi melakukan ultimatum itu seolah-olah hanya mempertimbangkan tindakan yang dilakukan karyawan yang mogok. Mereka tidak mempertimbangkan apa yang menjadi tujuan dari aksi itu," tambah Haris.
Selain itu, Haris juga menilai surat ultimatum tersebut juga cacat hukum. Menurut Haris, beberapa pasal yang disangkakan kepada para pengunjuk rasa menggunakan dasar hukum yang sudah dicabut Mahkamah Konstitusi.
"Dalam pertimbangan keluarnya surat itu, tidak mencantumkan keputusan presiden mengenai pengamanan obyek vital. Padahal, secara jelas, dalam putusan MK dalam Pasal 27 Ayat 2 UUD 1945, yang termasuk obyek vital itu tidak hanya sumber tambangnya saja, tetapi juga termasuk di dalamnya karyawan-karyawannya," jelas Haris.
Lebih lanjut, ia menilai, akar permasalahan yang terjadi dalam kasus tersebut sebenarnya hanya merupakan permintaan kesejahteraan buruh kepada majikannya. Menurut dia, perjanjian kerja sama tersebut harus tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara 22.000 buruh PT Freeport dan perusahaan.
"Gelombang suara ini telah berulang kali dikumandangkan oleh karyawan PT Freeport, tetapi selalu dibungkam dengan tindakan pemutusan kerja dan tindakan represif. Ini tidak boleh dibiarkan karena buruh di sana berhak untuk berserikat, dan menyuarakan aspirasinya, dan menuntut hak-haknya dengan menambah upah yang layak dari perusahaan," tegas Haris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.