Alih-alih menanamkan modal di Indonesia yang dalam setahun bisa menyerap empat juta produk Blackberry, RIM justru memilih berinvestasi di Malaysia yang dalam setahun tak dapat menyerap lebih dari 400.000 unit produknya.
Setelah mendapat protes dari Pemerintah Indonesia, pimpinan RIM menjelaskan bahwa dalam hal ini mereka sedang memanfaatkan skema perdagangan bebas ASEAN. Artinya, mereka memilih Malaysia yang iklim investasinya lebih baik sebagai basis produksi di ASEAN. Sedangkan Indonesia hanya diperlakukan sebagai ”pasar besar” dengan fasilitas zero-tariff yang menguntungkan dalam skema perdagangan bebas ASEAN.
Pertanyaannya, apakah untuk menjadi pemain regional yang hebat di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memang harus terus ”setia” mendudukkan diri sebagai ”konsumen massal” bagi perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di kawasan ASEAN?