Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semuanya Harus Bisa Diirit

Kompas.com - 08/02/2012, 11:05 WIB

BOGOR, KOMPAS.com — Yuli (29) baru pulang ke bedeng kontrakannya dari perusahaan tekstil tempatnya bekerja di bagian pembuatan kain di Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (7/2/2012) pagi. Tanpa makan, ia langsung tertidur lelap, membalas kantuk yang menerpa selepas berdiri delapan jam pada shift malam.

”Kalau sudah mengantuk, jadi malas makan. Makanya, setiap shift malam jadi bisa hemat uang makan,” tutur perempuan asal Bantul, DI Yogyakarta, itu.

Kamar yang ditempatinya hanya berukuran 2,5 meter x 3 meter dengan atap anyaman bambu dan sirkulasi udara minim. Bedeng itu terbilang paling murah di kawasan tersebut, Rp 120.000 per bulan sudah termasuk listrik. Satu kamar mandi digunakan penghuni 14 bedeng. Jika sedang masuk shift pagi, pukul 07.00, Yuli terpaksa bangun lebih pagi, mendahului mandi agar tak terlambat.

Pagi itu, hanya ada sepotong besar tahu putih dan dua potong oncom yang terletak di samping penggorengan dan kompor.

”Tadi beli Rp 8.000. Lumayan untuk makan sore dan sisanya saya bawa untuk bekal makan di pabrik,” tuturnya.

Yuli mengaku harus irit betul soal makanan. Dia menjaga agar setiap hari pengeluaran untuk membeli lauk hanya Rp 10.000-Rp 15.000, sedangkan beras Rp 60.000 per minggu. Hanya sesekali jika sangat terpaksa ia belanja lauk di warung.

Upahnya yang terbatas, Rp 42.000 per hari, membuat dia harus irit. Namun, sesekali ia membeli susu berkalsium tinggi untuk menjaga kondisi tubuh karena bekerja di pabrik tekstil membuatnya harus berdiri delapan jam. Belum lagi, kadang- kadang tulang pahanya nyeri.

Sudah dua tahun terakhir ini dia bekerja di Bogor sebagai buruh kontrak. Tahun lalu, gajinya Rp 39.000 per hari.

”Sebulan, setelah dikurangi pengeluaran, bisa terkumpul Rp 200.000-Rp 300.000. Saya langsung masukkan ke koperasi,” katanya.

Dia tak bisa menabung lantaran harus mengirim uang kepada orangtuanya, 2-3 bulan sekali. Dia sungguh berharap bisa berhenti bekerja sebagai buruh dengan penghasilan tak menentu dan memiliki usaha.

Linda (24), buruh lain di perusahaan garmen di Kota Bogor, yang sudah memiliki dua anak usia 2 tahun dan 4 tahun mengaku, upahnya yang hanya sebatas upah minimum Kota Bogor Rp 1.174.000 harus dicukup-cukupkan untuk hidup.

Untuk membeli susu kedua anaknya, ia harus mengeluarkan uang Rp 500.000. Beruntung, suaminya masih bekerja sehingga bisa menopang keluarga.

Bantu suami memulung

Tak mengherankan banyak anggota keluarga dari kaum buruh saling membantu menghidupi keluarga mereka. Hal itu yang dilakukan Sakinah yang tinggal di Kampung Citawa, Desa Tambak, Kecamatan Kibin, Kabupaten Serang, Banten.

Tangan Sakinah cekatan memilah barang rongsokan dari dalam karung menjadi tiga kelompok, yaitu serpih kecil benda dari logam, batangan logam ukuran agak besar, dan barang-barang dari plastik.

Perempuan paruh baya itu mencari tambahan uang untuk keluarganya dengan mencari barang rongsokan.

”Lumayan, kalau dijual bisa dapat tambahan Rp 10.000 sampai Rp 20.000,” kata Sakinah, Selasa.

Pendapatan Sanan, suaminya, sebagai sopir hanya Rp 1,2 juta-Rp 1,4 juta per bulan. Setiap bulan, keluarga mereka butuh 2,5 gantang beras setara sekitar 25 liter. Harga beras di wilayah Kibin saat ini mencapai Rp 7.000-Rp 8.000 per liter. Setiap bulan juga harus dikeluarkan biaya listrik dan air sekitar Rp 100.000.

Hal serupa dialami Epah, buruh perusahaan sepatu di Tambak. Dia sudah merasakan kenaikan upah minimum Kabupaten Serang 2012 yang direvisi dari semula Rp 1.320.500 menjadi Rp 1.410.000 pada pembayaran awal pekan ini.

”Tapi, yang bikin senewen, sopir angkot, kok, sekarang juga mulai ikut-ikutan menaikkan tarif begitu tahu upah buruh sedikit dinaikkan,” katanya.

Sebelumnya, kebutuhan angkot pergi-pulang dari rumah ke pabrik hanya Rp 2.000 per hari. Belakangan, dia harus keluar uang Rp 3.000 per hari.

Tidak berlebihan ketika dalam aksi menuntut revisi UMK 2012 beberapa waktu lalu buruh di Banten juga mendesak perubahan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2005.

Menurut para buruh, peraturan tersebut tidak relevan lagi dipakai karena parameter yang digunakan hanya mencakup kebutuhan hidup buruh lajang. Padahal, dalam kenyataannya, banyak buruh yang memiliki suami atau istri dan anak.

Posisi tawar lemah

Penderitaan buruh tidak hanya karena minimnya upah yang diterima, tetapi juga masih rendahnya posisi tawar mereka terhadap perusahaan.

Hal itu seperti yang dialami Sri Kusbandiah (45). Ibu dua anak ini kembali terancam kehilangan pekerjaan dan tak memperoleh upahnya karena pabrik garmen tempatnya bekerja, PT Nobel Jean, di Kawasan Berikat Nusantara, Cilincing, terancam ditutup.

Kusbandiah mengaku, sebelumnya, tahun 2010, dia juga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) saat bekerja di PT Asian Star dan itu juga berada di Kawasan Berikat Nusantara. Saat itu, dia hanya memperoleh pesangon sebesar Rp 450.000, sedangkan upahnya satu bulan terakhir bekerja sebesar Rp 1,2 juta tak dibayar.

”Sepertinya tempat kerja yang sekarang juga seperti dulu. Apalagi, upahnya juga sering kali terlambat turun. Semestinya turun tanggal 5, mundur jadi tanggal 10,” katanya.

Kusbandiah mengaku khawatir, kalau mengalami PHK lagi, dia bakal kesulitan memperoleh pekerjaan di pabrik karena usianya sudah di atas 40 tahun. Sementara pabrik saat ini lebih memilih pekerja usia muda di bawah 30 tahun.

Bekerja sebagai buruh pabrik juga tak bisa meningkatkan taraf hidupnya akibat upah yang minim. Selama bekerja, upahnya hanya Rp 1.380.000 per bulan.

Koordinator Forum Buruh Lintas Pabrik Jumisih menilai upah yang layak bagi buruh lajang berdasarkan perhitungan riil kebutuhan hidup setidaknya sebesar Rp 2,2 juta per bulan. Upah sebesar itu baru dapat digunakan untuk meningkatkan kehidupan buruh.

Minimnya upah buruh itu, kata Jumisih, membuat banyak buruh di Kawasan Berikat Nusantara yang terjerat rentenir. Hampir setiap minggu dia memperoleh pengaduan buruh yang terjerat rentenir. Entah sampai kapan.... (GAL/CAS/MDN/BRO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com