Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Kali Ini Beda

Kompas.com - 21/09/2012, 02:16 WIB

Oleh A Tony Prasetiantono

Krisis ekonomi global kali ini terasa benar berbeda dengan krisis-krisis kita sebelumnya. Pada 1998, krisis ditandai tekanan terhadap keseimbangan eksternal, yakni kewajiban utang luar negeri yang besar tidak dapat diimbangi oleh ketersediaan cadangan devisa.

Utang luar negeri total saat itu 130 miliar dollar AS, sementara cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia (BI) hanya 20 miliar dollar AS. Akibat permintaan jauh melampaui penawaran valuta asing, rupiah terdepresiasi sangat tajam, dari Rp 2.300 menjadi di atas Rp 10.000 per dollar AS. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi berkontraksi (minus) 13,7 persen dan inflasi 78 persen.

Krisis 2008 menyajikan cerita berbeda. Krisis 2008 terjadi karena meletusnya gelembung ekonomi dan finansial (economic and financial bubbles) di Amerika Serikat yang menyebabkan bursa efek amat terpukul. Karena emiten (perusahaan yang menjual sahamnya di bursa) mengalami tekanan jual (panic selling), harga dan kinerja perusahaan pun merosot. Selanjutnya, perekonomian tumbuh melambat atau bahkan negatif. Implikasinya, pengangguran melesat. Namun, Indonesia beruntung. Kinerja perusahaan tidaklah jelek sebab perekonomian masih tegak karena di sangga konsumsi kelompok masyarakat berpendapatan menengah.

Jumlah kelompok ini mencapai 130 juta orang. Berkat daya beli mereka, sektor konsumsi masih tetap tegak. Lebih hebat lagi, Indonesia seperti mendapat rezeki tatkala harga komoditas primer naik (batubara, sawit, karet, timah) seiring kenaikan harga minyak dunia. Perekonomian pun mampu tumbuh 4,5 persen ketika hampir semua emerging markets mengalami pertumbuhan negatif. Kombinasi antara (1) fenomena kelas menengah, (2) harga komoditas primer yang tinggi, dan (3) rendahnya eksposur perbankan kita dalam transaksi derivatif global telah menyelamatkan Indonesia dari krisis.

Krisis 2012 dan dinamika eksternal

Bagaimana dengan krisis ekonomi global 2012? Situasinya kembali berbeda. Perekonomian Indonesia amat terpengaruh dinamika eksternal. Pertama, harga komoditas primer kini merosot seiring lesunya perekonomian dunia, jauh lebih rendah dari saat krisis 2009. Akibatnya, ekspor kita melemah, bahkan dalam empat bulan terakhir menderita defisit perdagangan dan defisit transaksi berjalan.

Kedua, meski harga produk primer merosot, harga minyak dunia terus meningkat. Akibatnya, nilai impor minyak kita juga melejit seiring kegagalan pemerintah mengerem laju konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pemerintah masih asyik mengimbau masyarakat hemat BBM bersubsidi, tetapi tampaknya rakyat tak peduli. Konsumsi jalan terus sehingga impor membengkak.

Ketiga, meski perekonomian global tertekan, berkat fenomena kelas menengah, kredit perbankan masih terus berekspansi. Sejauh ini pertumbuhan kredit bank mencapai 25,8 persen. Timbul kekhawatiran BI, ini akan menyebabkan meningkatnya permintaan barang-barang modal (capital goods) yang harus diimpor. Ini salah satu simpul penyebab melonjaknya transaksi impor, selain melonjaknya impor minyak mentah.

Krisis ekonomi global dipicu oleh masih belum jelasnya efektivitas kebijakan yang dilakukan zona euro dan AS untuk meredam memburuknya perekonomian di dua wilayah tersebut. Gejolak Yunani untuk sementara memang bisa diredam tatkala utang Pemerintah Yunani yang mencapai 300 miliar euro sudah ditalangi ”bandar” zona euro (Jerman dan Perancis) sebesar 230 miliar euro. Setidaknya, utang-utang berupa obligasi Pemerintah Yunani yang jatuh tempo dapat dibayar sehingga stabilitas pasar finansial global dapat diselamatkan dari kepanikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com