Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sukses Mukini di Negeri Beton...

Kompas.com - 25/10/2012, 03:20 WIB

Kisah pilu tenaga kerja Indonesia, khususnya tenaga kerja wanita atau TKW di luar negeri memang tak ada habisnya. Namun ada juga sebagian dari mereka merasakan manisnya mendulang emas di negeri orang.

Akhir September lalu saya bertemu dengan seorang TKW asal Tulungagung, Jawa Timur, di Hongkong. Sebut saja namanya Mukini. Ia adalah salah satu TKW senior di negeri beton tersebut yang sudah delapan tahun mengadu nasib di sana.

Mukini (44) saat ini adalah salah satu TKW ’mandiri’ di Hongkong. Ia sudah memiliki ’izin’ dari majikannya untuk ’stay out’ atau tinggal lepas dari majikannya. Izin itu bukanlah izin legal dari pemerintah setempat, namun hanya karena kebaikan majikan Mukini saja.

Sudah enam bulan ini Mukini menyewa sendiri sebuah rumah dengan dua kamar. Nilai sewa rumahnya cukup besar yaitu 4.000 dollar Hongkong atau sekitar dengan Rp 5 juta sebulannya.

Di rumahnya itu, ia tinggal bersama 3-4 TKW yang diizinkannya tinggal bersamanya. Namun suatu ketika, penghuni rumah tersebut akan cukup berjejal karena Mukini biasanya menampung sejumlah TKW yang baru datang dari Tanah Air dan masih berusaha mencari majikan.

Selain rumah tersebut, Mukini juga menyewa satu kamar di perumahan lain. Rumah itulah yang kadang disewakannya lagi menjadi semacam penginapan bagi tamu-tamu asal Indonesia yang datang ke Hongkong, atau siapa saja yang butuh kamar untuk jangka waktu pendek. Nilai sewa kamar itu 400 dollar Hongkong per hari.

Usaha Mukini bukan itu saja. Ia juga berjualan makanan seperti nasi pecel, sayur, nasi kuning, atau beragam masakan khas Indonesia setiap hari Minggu (libur resmi pembantu di Hongkong). Pembelinya adalah teman-temannya sendiri, orang-orang Kedutaan Besar RI, atau orang setempat yang ingin merasakan masakannya.

Di luar itu, Mukini juga membuka perawatan pijat dan spa di rumah kontrakannya itu. ”Semua saya lakukan asalkan halal dan bisa mendatangkan uang. Kalau kesempatan itu tidak dimanfaatkan, sangat rugi sekali,” ujarnya.

Dengan semua usaha itu, setidaknya dalam sebulan Mukini kini bisa memperoleh penghasilan 20.000 dollar Hongkong. Nilai itu jauh lebih besar dari gaji yang diperolehnya saat ikut majikan yaitu 3.740 dollar Hongkong per bulan. Jika satu dollar Hongkong setara dengan Rp 1.300 maka penghasilannya sekitar Rp 26 juta sebulan.

Jika dahulu ia digaji oleh orang lain, kini Mukini bisa membayar tiga orang rekannya untuk membantu memasak.

Dari semua penghasilan itu, Mukini terus mengatur agar penghasilannya tidak habis begitu saja. Ia mengirim uangnya ke kampung halaman untuk dikelola kerabatnya. Di Tulungagung, Mukini dan saudaranya membuka usaha bubut ayam potong dan agen elpiji serta air mineral.

”Saya tidak ingin selamanya digaji. Saya juga ingin merasakan menggaji orang. Inginnya nanti kalau saya kembali ke Indonesia sudah ada kerjaan sehingga tidak susah lagi,” ujar perempuan yang sudah bekerja ke luar negeri sejak tahun 1992. Tahun itu ia bekerja di Singapura. Ia memutuskan bekerja ke luar negeri setelah bercerai dengan suaminya.

Semua kegiatan Mukini tidak hanya bersifat mencari untung. Rumahnya juga diberdayakan menjadi semacam shelter bagi para TKW di Hongkong yang memiliki masalah. ”Rumah saya juga menjadi tempat terapi mereka-mereka yang lesbi. Ada terapi spiritual emosional dan pikiran untuk mengembalikan mereka,” ujar Mukini.

Mukini menyebut rumahnya sebagai Griyo Sehat. Rumah sehat bagi para pekerja Indonesia di Hongkong.

Semua keberhasilan Mukini tidak datang begitu saja. Sejak pertama bekerja di Hongkong, Mukini tidak mengisi hari liburnya hanya dengan berfoya-foya menghibur diri. Ia setiap Minggu justru menjual jilbab dan buku-buku yang diperoleh dari saudaranya di Tanah Air di depan kantor remittance Bank Mandiri di Hongkong.

Lama-lama, oleh pihak Bank Mandiri, Mukini dirangkul. Ia bersama ratusan pekerja lainnya dilatih dalam program ’Mandiri Sahabatku’. Dalam program ini, TKI dibekali ilmu dan dasar-dasar menjadi wirausaha mandiri. Sejak itu, Mukini terus semakin memantapkan langkahnya agar bisa mandiri.

Tidak mudah

Namun memang hidup tidak pernah mudah. Kisah para pejuang devisa ini tidak semuanya seberuntung Mukini. Lilik misalnya, ibu satu anak asal Gondanglegi, Malang, awal bulan ini memutuskan balik ke kampung halamannya setelah bekerja selama 2 tahun di Hongkong.

”Semuanya tidak mudah. Di sini saya bekerja keras, menahan diri sekuatnya dari kondisi yang tidak menyenangkan, sementara yang di rumah tidak bisa diharapkan. Suami malah kecantol cewek lain dan pendidikan anak justru terganggu,” ujar perempuan berusia 38 tahun yang ditemui di Victoria Park, Hongkong, akhir bulan lalu itu.

Lilik bercerita, anaknya tidak naik ke kelas III SMA karena tidak ada yang membimbing. Ia tinggal dengan neneknya yang bisa mengarahkan perilaku anak tersebut. Sementara, ayahnya justru menghambur-hamburkan uang hasil jerih payah Lilik dan justru kini menjalin hubungan dengan perempuan lain.

”Soal suami sudah tidak saya pikirkan. Saya memikirkan anak saya. Saya ingin balik untuk anak saya. Selama ini pendidikannya terganggu karena tidak ada yang membimbing. Saya tidak ingin anak saya gagal. Kalau nanti anak saya bisa dilepas lagi, mungkin saja saya kembali bekerja di Hongkong ini, dengan mencari majikan baru yang lebih baik,” ujar Lilik yang saat ini menunggu majikan tuanya mengisi pagi hari dengan duduk-duduk menikmati taman yang sangat nyaman di Hongkong tersebut.

Lilik bercerita, selama dua tahun di Hongkong, ia belum menemukan majikan yang ’enak’. Saat ini ia harus tinggal di rumah petak kecil yang dihuni keluarga yang berjumlah tujuh orang. Semuanya diurus oleh Lilik.

”Kamar tidurnya hanya dua sehingga tidurnya bisa di mana saja. Sering saya tidur di depan TV karena saking lelahnya,” ujar perempuan yang mengaku digaji 3.700 dollar Hongkong setiap bulannya.

Dengan gaji tersebut, kadang Lilik minimal bisa menyisihkan 1.000 dollar Hongkong untuk ditabung dan dikirim ke kampung halaman. ”Tapi kalau yang di rumah tidak bisa mengelolanya dan hanya dibuat main-main dengan cewek lain, ya sama saja,” celetuk Lilik mengisahkan suaminya.

Kebutuhan terbesar seorang TKW menurut Lilik adalah biaya untuk telepon. Mulai dari telepon keluarga di Tanah Air atau teman di Hongkong. Saat Minggu atau tanggal merah–saat pembantu mendapat libur resmi di Hongkong, Lilik bercerita minimal 100 dollar Hongkong akan habis hanya untuk makan, biaya telepon, dan kebutuhan lain. Jika gaya hidupnya lebih mewah,

”Kadang kalau hari Minggu dan libur, bagi yang ingin menambah penghasilan, serta berani mengambil risiko, kami bisa kerja part-time pada orang lain. Sehari upahnya bisa 200 dollar Hongkong. Semua saya lakukan untuk bisa mendapat uang lebih banyak,” ujar Lilik.

Tanpa mau lebih jauh mengisahkan betapa sulitnya ia melakoni hari-harinya di Hongkong, Lilik mengatakan tetap enak bekerja di negeri sendiri. Itu sebabnya jika tidak ada yang membuatnya tertarik lagi bekerja di negeri beton tersebut, ia tidak akan kembali lagi.

Ya, hidup memang tidak pernah mudah untuk siapa pun. Namun, Mukini dan Lilik mengajarkan banyak hal bahwa sesulit apa pun, kenyataan harus dihadapi. Karena kalau tidak dihadapi, kita tidak pernah punya kesempatan bertemu ’mutiara’ impian dan kenyataan yang lebih indah.

Jumlah TKI Indonesia di Hongkong tahun ini sekitar 146.000 orang. Jumlah tersebut menjadi tenaga kerja asing terbanyak di Hongkong, disusul Filipina dengan 130.000 orang.

Dari jumlah tersebut, nilai remittance yang dikirim melalui Bank Mandiri Hongkong mencapai Rp 3 miliar–Rp 5 miliar setiap minggu. Hari paling ramai penyetoran uang oleh TKI adalah saat hari libur mereka yaitu Minggu. (Dahlia Irawati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com