Jakarta, Kompas -
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan hal ini, Selasa (30/10), di Jakarta. Temuan selebaran yang mengiklankan pekerja rumah tangga (PRT) Indonesia dengan diskon 40 persen di Malaysia termasuk puncak gunung es masalah perlindungan TKI di luar negeri.
”Selebaran ini akibat begitu dominannya peranan swasta dalam penempatan TKI. Mereka membangun kerajaan penempatan sampai akhirnya terkondisi bahwa yang dibisniskan itu manusia. Hal ini sangat melecehkan kita dan menunjukkan bagaimana swasta melembagakan bisnis ini,” kata Anis.
Anis menemukan selebaran iklan TKI PRT di kawasan Chow Kit, Kuala Lumpur, Malaysia. Dia lantas menghubungi Rubini, nama yang tertera. Anis mengaku sebagai TKI yang mencari kerja.
”Dia bertanya umur saya berapa, punya paspor atau tidak. Saya bilang 24 tahun dan ada paspor. Rubini langsung mengajak saya bertemu,” ujar Anis.
Kompas, kemarin, mencoba tiga nomor dalam selebaran tersebut dari Jakarta. Dua nomor tidak aktif, yaitu 017.3394943
Anis meminta pemerintah tidak mempersoalkan legalitas selebaran yang ketika dicek pejabat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur ternyata alamat tukang cukur. Menurut Anis, persoalan mendasar adalah pemerintah masih memperlakukan TKI sebagai komoditas ekonomi penghasil remitansi tanpa kemauan membangun sistem penempatan dan perlindungan.
Peredaran iklan yang menawarkan TKI PRT dengan diskon di Malaysia itu adalah indikator penempatan TKI secara ilegal masih berlangsung. Alasannya, meski moratorium ke Malaysia berlangsung, perekrutan oleh agen yang tidak bertanggung jawab justru marak.
Menurut Benny Kedang, pengurus Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Jawa Timur, jika aparat tegas menindak setiap calon TKI yang berangkat secara mandiri tanpa dokumen lengkap, penempatan secara ilegal pasti berhenti.
”Sekarang penempatan secara ilegal dari Nusa Tenggara Timur justru meningkat karena sudah banyak pihak menampung di Malaysia, seperti yang membuat iklan itu,” kata Benny.
Hal itu terjadi karena aparat tidak tegas. Padahal, mendeteksi seseorang yang ke luar negeri untuk urusan bisnis atau mencari pekerjaan itu mudah. ”Pengawasan sangat lemah dan aparat, terutama di pintu masuk, seperti pelabuhan dan bandara, tidak peduli. Akibatnya, persoalan TKI bermasalah sulit dituntaskan,” ujarnya.