Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenaikan Tarif Listrik Menyengat ke Mana-mana

Kompas.com - 04/01/2013, 03:08 WIB

Hari-hari pada awal tahun baru mestinya dilewati dengan senyum optimisme. Hal ini tak terjadi pada pengusaha kecil dan menengah di sejumlah daerah. Bayang-bayang kenaikan tarif listrik membuat mereka tersenyum kecut.

Dahi Nur Salim (40) mengernyit saat mencermati lembaran pembukuan bulan terakhir. Perajin knalpot di Purbalingga, Jawa Tengah, itu harus bersiasat mengatasi kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) rata-rata 15 persen per tahun dan mulai berlaku Januari 2013.

Bagi Salim dan 80 pengusaha knalpot di Purbalingga, ini pukulan telak pada awal tahun. Dari pengalaman kenaikan tarif listrik sebelumnya, komponen bahan baku knalpot, mulai dari drum bekas hingga baja tahan karat (stainless steel), selalu ikut terkerek.

Listrik hanya sekitar 15 persen dari biaya produksi usaha kerajinan knalpot, tetapi dampak ikutannya lebih besar. ”Diperkirakan 70 persen komponen biaya operasional, termasuk upah pekerja, juga naik,” ujar perajin knalpot di Kelurahan Purbalingga Lor itu, Kamis (3/1).

Perajin skala kecil yang memproduksi 400 knalpot per bulan itu menggunakan listrik berdaya 6.500 volt ampere (VA). Setrum listrik menjadi andalan, mulai dari peralatan las argon, pengecatan, hingga penyelesaian bodi. Sebulan rata-rata tagihan listriknya mencapai Rp 1 juta.

Harga tiap komponen rata- rata bakal naik hingga 30 persen. Contohnya drum bekas dan pelat besi serta semua bahan dari besi lapis baja tahan karat dan galvanis.

Salim mencontohkan, saat ini harga drum bekas Rp 150.000- Rp 160.000 per buah. Namun, penyuplai dari Banten dan Bekasi sudah mewanti-wanti pembelian mulai pekan ketiga Januari 2013 naik menjadi Rp 180.000 per buah. Adapun harga pelat besi lapis baja tahan panas yang awalnya Rp 25.000 per kilogram juga bakal naik jadi Rp 27.500 per kilogram.

Jika tidak menyiapkan antisipasi, usaha yang dirintis Salim sejak 10 tahun lalu ini terancam bangkrut. Kini, dari omzet Rp 10 juta per bulan, biaya operasionalnya sekitar Rp 7 juta. Namun, dengan kenaikan listrik bertahap dan kenaikan bahan baku, biaya operasional bisa membengkak hingga Rp 8,5 juta-Rp 9 juta. Belum lagi karyawan biasanya meminta kenaikan upah karena harga kebutuhan pokok naik.

Menyiasati hal ini, Salim tidak akan memasarkan produk melalui pengepul. Menjual kepada bandar sudah pasti laku, tetapi harga yang dijual di bengkel lebih murah sekitar Rp 30.000 per unit. Ia akan memasarkan langsung ke bengkel memakai truk.

Dengan memotong rantai pemasaran, perajin kecil seperti Salim bisa mendapat harga lebih baik dan dapat sedikit bernapas.

Suwarno (45), perajin kecil knalpot, mengaku tak dapat bersaing dengan perajin berskala menengah karena produksinya lebih besar dan berani mengambil keuntungan lebih tipis.

Perajin knalpot juga berancang-ancang mengganti kualitas bahan baku dengan yang sedikit lebih murah. ”Mungkin nyari drum bekas yang mutunya lebih jelek atau yang daur ulang,” kata perajin yang mempekerjakan empat orang itu.

Jika harga drum bekas biasa Rp 160.000 per buah, dengan kualitas sedikit lebih jelek dia bisa mendapat barang sejenis seharga Rp 130.000 per buah.

Usaha bordir

Foto saat menerima penghargaan Paramakarya dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2007 terpampang di ruang tamu rumah Pupu (55), pengusaha bordir.

”Penghargaan ini saya dapatkan karena mampu memberikan upah tiga kali lipat besar penghasilan pekerja ketimbang UMK (upah minimum kota). Saat itu saat UMK Tasikmalaya sekitar Rp 700.000,” kenang pemilik Indri Creative Bordir di Jalan Perintis Kemerdekaan, Kawalu, Kota Tasikmalaya, itu.

Indri Creative Bordir hanya satu dari ribuan usaha bordir di Kota Tasikmalaya. Berdasarkan data Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Kota Tasikmalaya, hingga tahun 2011, bordir menyerap 12.000 tenaga kerja di 1.229 unit usaha. Nilai investasi mencapai Rp 98 miliar dengan nilai produksi Rp 586 miliar.

Namun, Pupu pesimistis memori itu terulang lagi pada 2013. Kenaikan TTL membuat kepalanya pening. Ia khawatir 40 pekerjanya akan mendapatkan penghasilan lebih kecil daripada UMK Tasikmalaya 2012 sebesar Rp 946.200.

Untuk daya listrik 4.400 VA, Pupu dalam sebulan butuh Rp 1,5 juta-Rp 1,8 juta untuk listrik. Jika tarif naik hingga 15 persen, ia harus menyisihkan Rp 1,8 juta-Rp 2,1 juta per bulan.

Tidak mudah bagi Pupu untuk menyisihkan uang sebesar itu. Penjualan jas dan jubah koko hanya ramai menjelang Idul Fitri. Sisanya pengusaha bordir hanya menyimpan stok tanpa tahu kapan terjual. ”Keuntungannya hanya 5 persen dari tiap helai jas dan jubah koko,” ujarnya.

Untuk menyiasati berbagai masalah ini, kemungkinan besar Pupu akan meminta 40 pekerjanya mengurangi produksi hingga 50 persen menjadi 6-7 kodi per hari. Ia paham, hal itu akan menurunkan penghasilan pekerja yang biasanya mendapatkan Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per bulan kemungkinan hanya Rp 750.000-Rp 1 juta per bulan. Jumlah ini jauh lebih kecil atau sekadar nyaris setara dengan UMK Tasikmalaya.

Usaha rotan

Kenaikan tarif listrik juga memukul pengusaha rotan. Rata-rata usaha rumahan produk rotan di Kabupaten Cirebon yang tersebar di tiga kecamatan, yakni Weru, Plumbon, dan Plered, menggunakan daya listrik di atas 900 VA.

Seiring dengan meredupnya usaha rotan di Cirebon, kenaikan TTL dirasakan Usi Sanusi (49) kian mencekik. Hal serupa dialami Iwan (37) yang menjalankan usaha rumahan rotan milik keluarganya.

”Rumah saya ini cuma pakai 900 VA. Kalau siang hari dibuat bekerja, ya sanyo (pompa air) tidak dihidupkan dulu. Sebab, biasanya setrum tidak kuat dan langsung mati. Jadi, ya, harus disiasati biar bisa terus produksi rotan,” ungkapnya. 

Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia Komisariat Daerah Cirebon Sumartja khawatir material pendukung seperti paku, cat, sekrup, dan lem juga naik. Ibaratnya, usaha kecil di sejumlah daerah sudah jatuh tertimpa tangga pula. (GRE/REK/CHE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com