Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Ada Lagi Perdebatan soal Ekonomi Rokok

Kompas.com - 01/02/2013, 02:59 WIB

Sementara itu, penerimaan negara dari cukai rokok pada 2010 hanya Rp 56 triliun. Walhasil, kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok empat kali lipat dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok.

Karena itu, ekonom Faisal Basri berpendapat, dengan begitu jelas gamblangnya kerugian bangsa Indonesia akibat rokok, sejatinya tidak ada lagi perdebatan mengenai manfaat dan mudaratnya produk adiktif ini. ”Jadi tidak ada lagi hitungan-hitungan untung atau ruginya rokok. Sudah sangat jelas merugikan. Rokok tidak boleh mendapatkan tempat dalam sistem ekonomi kita,” ujar Faisal.

Faisal mengingatkan, cukai merupakan instrumen untuk memengaruhi pola konsumsi masyarakat. ”Cukai tak boleh dipakai sebagai andalan penerimaan negara,” ujarnya.

Abdillah berpendapat senada. Menurut dia, kebijakan cukai rokok di Indonesia masih gagal menjalankan amanat konstitusi seperti yang tertera dalam UU No. 39/2007 di mana cukai dikenakan untuk mengendalikan konsumsi.

Sistem cukai rokok di Indonesia juga sangat rumit karena besaran tarif dikenakan berdasarkan jenis rokok, skala produksi, dan rentang harga jual.

Hal ini mengakibatkan fungsi cukai untuk pengendalian konsumsi menjadi kabur dan tidak bermakna. Akibat dari sistem cukai saat ini adalah rentang harga jual yang lebar antara rokok termurah (Rp 3.000 per bungkus) dan termahal (Rp 14.000) atau empat kali lipat lebih perbedaannya. Hal ini mengakibatkan hilangnya dampak kenaikan cukai rokok pada penurunan konsumsi karena perokok beralih ke rokok yang lebih murah.

Dijadikan musuh negara

Menurut Faisal, di seluruh dunia, di negara-negara paling liberal sekalipun, rokok sudah menjadi ”musuh” negara dan tak diberi tempat, apalagi tempat yang nyaman dalam sistem ekonomi. Meski begitu, negara tetap harus menaruh perhatian besar terhadap proses menuju Indonesia tanpa rokok. Ini untuk menghindari penurunan drastis pendapatan petani tembakau dan penerimaan negara. Harus dibuat peta jalan (road map) ke arah sana dan dilaksanakan secara tegas melalui mekanisme UU.

Terhadap petani tembakau, seperti banyak dilakukan di sejumlah negara, diajak dan disokong sekuatnya untuk pindah menanam tanaman lain yang punya nilai ekonomi lebih baik ketimbang tembakau.

”Petani pasti mau kalau hasilnya lebih baik. Banyak tanaman dengan nilai ekonomi lebih baik ketimbang tembakau. Ini harus disesuaikan dengan situasi setempat,” ujar Faisal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com