Rapat Dewan Gubernur BI kemarin menilai perekonomian Indonesia masih menunjukkan kinerja kuat. Meskipun, mewaspadai tingginya tekanan terhadap keseimbangan eksternal yang sejalan dengan kuatnya impor.
Suku bunga acuan sebesar 5,75 persen ini sudah diberlakukan sejak Februari 2012.
”Bank Indonesia tetap menjaga stabilitas nilai tukar sesuai fundamentalnya dan mendorong terciptanya pasar valas yang lebih efisien,” kata Kepala Grup Humas BI Difi Ahmad Johansyah di Jakarta, mengutip penjelasan Rapat Dewan Gubernur.
Sepanjang bulan Januari 2013, nilai rupiah rata-rata melemah 0,22 persen ke posisi Rp 9.654 per dollar AS.
Meski demikian, rupiah menguat dalam dua hari kemarin. Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah sebesar Rp 9.658 per dollar AS pada Senin (11/2) dan Rp 9.634 per dollar AS pada Selasa (12/2). Padahal, pekan lalu sempat menyentuh Rp 9.725 per dollar AS.
BI sedang mendorong pembentukan referensi nilai tukar rupiah di pasar spot domestik. Caranya, dengan melibatkan sejumlah bank devisa besar untuk menentukan kuotasi rupiah.
”Referensi baru ini diharapkan bisa mendorong likuiditas dan efisiensi pasar valas sehingga memperdalam pasar keuangan domestik,” ujar Difi.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tony Prasetiantono, menilai keputusan BI menahan BI Rate, tepat. Alasannya, jika suku bunga acuan diturunkan, bisa menekan rupiah. Kondisi nilai tukar rupiah yang terlalu lemah bisa dimaknai tidak kredibel dan memicu kepanikan.
Sebaliknya, jika suku bunga acuan naik, rupiah bisa menguat. Nilai tukar yang menguat tersebut bisa mengakibatkan terlalu mahal.