Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harmonikan Janji Politik, Rumah Sakit, dan Warga

Kompas.com - 25/02/2013, 03:24 WIB

Fakta itu terekam dari beredarnya keluhan dokter di jejaring sosial bahwa mereka kewalahan melayani pasien. Setelah meninggalnya bayi berusia 7 hari, Dera Nur Anggraini, karena kurangnya sarana neonatal intensive care unit (NICU), dokter merasa kian terpojok.

Dokter seakan disalahkan dalam kasus meninggalnya bayi prematur dengan berat 1.000 gram (1 kg) itu. Mereka merasa terhakimi oleh media dan publik karena dianggap menolak pasien, padahal program itu belum diikuti infrastruktur pendukung yang siap.

Sebagian pengelola rumah sakit swasta menganggap program KJS bagai makan buah simalakama. Mereka terjebak dalam suatu keadaan yang serba salah. Jika menjalin kerja sama, akan menghadapi risiko potensi terganggunya operasional rumah sakit karena pembiayaan yang tidak sepadan dengan biaya sebenarnya. Sementara jika menjalin kerja sama, mereka terancam akan kehilangan pasien.

”Fakta seperti itu banyak dihadapi rumah sakit kelas C dan D yang pasarnya adalah masyarakat kelas bawah yang juga pasien terbesar program KJS,” kata Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Mus Aida, Jumat (22/2), di Jakarta.

Adapun rumah sakit yang melayani konsumen kelas menengah atas sebagian besar tidak ikut kerja sama program KJS. Alasannya, dana yang diberikan pemerintah tak sesuai dengan klaim biaya operasional rumah sakit. Selain itu, pemerintah tidak menawarkan kemudahaan pembiayaan, misalnya menerapkan sistem urun biaya.

Menurut Aida, pembiayaan model urun biaya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 029 Tahun 2012 tentang Perubahan Permenkes Nomor 416 Tahun 2011 tentang Tarif Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta PT Askes. Namun, Pemprov DKI tidak menggunakan dasar ketentuan itu.

”Kami sudah usulkan dan mengajak duduk bersama dengan mediasi Kementerian Kesehatan, tetapi rencana ini tidak pernah terealisasi,” katanya.

Potensi hilang

Aida khawatir jika persoalan KJS berlarut-larut, ada potensi pendapatan negara yang lebih besar akan hilang. Seharusnya pemerintah menetapkan skala prioritas dengan pemetaan yang jelas. ”Untuk rumah sakit unggulan, misalnya, diarahkan ke pengembangan wisata kesehatan. Apabila semua terbelit persoalan KJS, semua akan berhenti di sini. Potensi yang lebih besar bisa hilang,” katanya.

Adapun rumah sakit kelas C, D, atau puskesmas bisa dikembangkan untuk melayani peserta KJS. Konsekuensinya, pemerintah harus menambah tenaga medis dan memperbaiki fasilitas rumah sakit. ”Dengan demikian, pasien tidak asal dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com