Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepatu Bergaransi dari Medan

Kompas.com - 13/04/2013, 03:44 WIB

Dalam ”booklet”, situs ”web”, bahkan kartu nama, Azri (50) menyebut sepatu produknya sebagai sepatu terbaik di Indonesia. Mengapa terbaik? Karena ia satu-satunya produsen sepatu dalam negeri yang berani menggaransi sepatu kulit produknya selama tiga bulan. Ia juga melayani purnajual. Aufrida Wismi Warastri

Jika sol sepatu rusak dan kulit masih bagus, bisa kami pasang sol lagi,” kata Azri di tempat kerja sekaligus tokonya di Jalan AR Hakim, Medan, pertengahan Januari lalu. Ia juga tengah mengajukan SNI bagi sepatu Kotama. ”Tahun lalu sudah diuji kualitasnya. Minggu ini tim dari Kementerian Perdagangan datang,” katanya. Kurang dari 1 persen produknya yang kembali lagi untuk diperbaiki.

Dulu cita-cita Azri hanyalah menjadi pegawai. Namun, hasil kerja sampingannya berjualan sepatu di kantor ternyata lebih tinggi daripada gaji. Alhasil, Azri banting setir menjadi perajin sepatu. Kini ia memproduksi 1.500 pasang sepatu kulit bermerek Kotama per bulan dibantu 20 karyawan.

Sejumlah perusahaan bahkan memesan sepatu Kotama untuk digunakan karyawannya, seperti PDAM Tirtanadi, Medan, PT Pelindo I, Dinas Perhubungan Sumut, dan petugas keamanan Bank Mandiri di Medan. Mahasiswa Politeknik Medan yang praktik kerja lapangan juga menggunakan sepatu Kotama. Dalam sebuah dialog di radio, Pelaksana Tugas Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho pun mengaku mengenakan sepatu Kotama untuk tugas sehari-hari.

”Saya sangat berharap pimpinan dan pegawai di negeri ini menggunakan sepatu produk dalam negeri,” tutur Azri yang juga Ketua Umum Koperasi Industri Kecil Kerajinan Rakyat (Kopinkra) Sepatu Kulit Medan. Jika pemimpin menggunakan sepatu produk dalam negeri, diharapkan kecintaan pada produk dalam negeri warga pun meningkat.

Selepas lulus dari Jurusan Akuntansi SMEA Negeri 2 Medan, Azri bekerja sebagai akuntan di sebuah perusahaan farmasi skala nasional di Medan. Sambil bekerja, ia menyelesaikan kuliah D-3 di Akademi Akuntansi YPK Medan. Untuk menambah penghasilan dan membiayai kuliah, ia berjualan sepatu produksi tetangga ke kantor. Ia juga berhemat dengan membawa bekal masakan ibunya ke kantor untuk makan siang.

”Dulu di sekitar rumah orangtua saya di Pasar Merah banyak perajin sepatu kulit. Saya bawa 5 sampai 10 pasang ke kantor dan saya jual,” ceritanya. Ternyata, hasilnya lumayan. Banyak pegawai kantornya, bahkan pegawai kantor lain yang memesan sepatu yang pada tahun 1985-an ditawarkan Rp 12.000 per pasang. ”Pembelian sepatu bisa diangsur. Lama-lama hasil berjualan lebih tinggi daripada gaji,” tutur Azri.

Namun, setelah banyak pesanan, pelanggannya mulai komplain karena pesanan tak bisa siap tepat waktu. ”Maklumlah, manajemen perajin sepatu ini masih sangat tradisional,” katanya.

Industri sepatu rumahan yang dulu banyak di sekitar Pasar Merah, Medan, itu bahkan hilang pada 1990-an karena pemiliknya meninggal, kekurangan modal, atau tak ada yang meneruskan.

Berbekal uang Rp 500.000 hasil berjualan sepatu, ia akhirnya membuka bengkel kerja di rumah orangtuanya. Dua pegawai ia pekerjakan di rumah. Ia sendiri masih bekerja di perusahaan farmasi sambil menyelesaikan kuliah.

Tak dinyana, uang pembelian bahan dilarikan karyawan. Setelah itu uang tagihan pelanggan pun dilarikan karyawan. Ia sempat terkena sakit lever karena kecapekan bekerja, kuliah, dan mengurus usaha di rumah.

”Ada ungkapan Melayu yang mengatakan, tuah kedai jangan ditinggalkan, kedai akan bertuah jika kita yang tangani, jangan dilepaskan ke orang, pasti tak akan maju,” kata Azri. Berbekal semangat itu, setelah kuliahnya selesai, ia berhenti bekerja tahun 1988.

Ia mendapat pesangon Rp 1,6 juta. Dipotong berbagai hal, tinggal Rp 1,4 juta. Uang itu ia gunakan untuk modal usaha. ”Usia saya 26 tahun. Saya baru berkeluarga saat itu,” ujar Azri.

Azri mulai belajar kepada seorang pengusaha sepatu yang ia anggap sukses. Ia juga mulai menghidupkan Kopinkra yang berdiri sejak tahun 1979 tetapi vakum sejak 1983 hingga 1986.

Bersama temannya, pengusaha sepatu, ia menyewa toko di Jalan Sutomo Rp 10,5 juta per tahun. Awalnya, Azri yang menjalankan toko itu, pendanaan dan barang dari sang pengusaha. Namun, belakangan ternyata Azri harus menanggung separuh biaya sewa toko. Pasokan barang pun tersendat. Kawannya yang jadi partner berubah jadi rival.

Untuk menghidupkan usaha, ia mengagunkan rumah orangtuanya 8 meter x 12 meter ke bank. Meskipun mendapat suntikan dana dari bank, ia masih terseok-seok menjalankan usaha.

Atas saran kawan, ia pun mengikuti kegiatan Achievement Motivation Training dan Entrepreneur Managerial Development yang diselenggarakan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sumut tahun 1990 selama 2 minggu. ”Saya tercerahkan ikut acara ini. Saya jadi tahu siapa diri saya. Selama ini saya malu minta bantuan, ternyata kita memang harus saling membantu,” tutur Azri. Kepada karyawan dan anak pun, ia akhirnya bisa mengatakan minta bantuan.

Pemuda pelopor

Usaha menghidupkan Kopinkra yang mati suri juga sukses sehingga tahun 1992 ia mendapat penghargaan sebagai Pemuda Pelopor Nasional Bidang Koperasi dari Presiden Soeharto. Tahun 1993, ia mendapat kesempatan mengikuti Friendship Program antara Kementerian Pemuda dan Olahraga serta JICA sehingga ia bisa belajar bisnis di Jepang sebulan. Ia juga pernah ikut pameran perdagangan ke Los Angeles, AS.

Nama Kotama juga lahir dari para perajin untuk merek sepatu. ”Sepuluh kali ganti nama, lalu muncul Kotama, kependekan dari Koperasi Tatanan Mahasiswa,” kata Azri. Logonya toga yang berarti mahasiswa dan berkualitas.

Pernah sepatu Kotama diekspor ke Malaysia tahun 1997. Namun, ia memutuskan mengakhiri ekspor itu karena kebutuhan dalam negeri pun belum terpenuhi. Kini, selain ke Sumatera, ia juga memasok sepatu ke Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Sepuluh tahun terakhir, Kopinkra yang beranggotakan 179 orang mengalami konflik internal. Pengurus justru bukan perajin sepatu. Padahal, koperasi ditujukan untuk perajin sepatu. Aset koperasi dijual. Azri akhirnya mendirikan Kopinkra Sepatu Kulit yang kini beranggotakan 25 perajin. Nama Kotama ia patenkan. Namun, di tokonya, nama Kopinkra Sepatu Kulit justru yang menonjol.

Untuk menghargai pendidikannya, Azri menggunakan SMAK di belakang nama pada kartu namanya. ”Kepanjangan dari sekolah menengah akuntansi, ha-ha-ha,” katanya.

Menurut Azri, industri alas kaki tak akan pernah mati karena semua orang butuh alas kaki. ”Sepatu yang dipakai setiap hari masih bagus selama setahun itu sudah luar biasa,” katanya. Namun, banjir sepatu dari China mau tak mau mencemaskannya. ”Limbahnya saja masih lebih banyak daripada produksi sepatu dalam negeri,” ujar Azri.

Azri berharap pemerintah bertindak untuk melindungi sepatu dalam negeri meskipun ia pernah punya pengalaman pahit dengan pemerintah. ”UKM ini sering diajak pameran ke luar negeri, tetapi hanya tiket yang ditanggung. Uang saku dan penginapan tidak ada. Sementara pegawai-pegawai pemerintah ikut pameran untuk pelesiran,” katanya.

Sepatu Kotama dijual Rp 200.000 hingga Rp 400.000 per pasang. Ia berharap usaha sepatunya tidak mati seperti perajin di Pasar Merah dan akan diteruskan anak-anaknya. Ia juga bercita-cita sepatu Kotama dipakai semua orang Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com