Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Realisasi Kebijakan Pemerintah Lemah

Kompas.com - 27/11/2013, 10:23 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com
- Kondisi ekonomi tahun 2014 tak akan banyak berubah. Pemerintah memang membuat sejumlah kebijakan, tetapi minim realisasi karena gagal dalam pelaksanaan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2014 diprediksi 5,6 persen-5,8 persen dengan tingkat inflasi 5 persen-6 persen.Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika mengatakan hal ini dalam seminar nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2014 bertajuk ”Akankah Krisis Berlanjut?”, di Jakarta, Selasa (26/11/2013).

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menjadi pembicara kunci dalam seminar yang juga menghadirkan Didik J Rachbini (Indef) dan Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto sebagai pembicara.

”Pemerintah tidak serius dan tidak fokus mengeksekusi kebijakan. Mereka sekadar memproduksi kebijakan demi memuaskan publik untuk sementara waktu dan tidak mengawal implementasinya,” kata Erani.

Bauran kebijakan moneter dan fiskal yang tidak dijalankan secara serius membuat kondisi perekonomian nasional tidak bisa berkembang optimal. Kondisi ini membuat upaya mengurangi defisit neraca pembayaran yang sudah berjalan selama delapan triwulan ini belum juga membuahkan hasil.

Menurut Erani, penyelenggaraan pemilihan umum pada April 2014 membuat agenda politik lebih mengemuka. Perhatian para elite politik, yang kebetulan merupakan pembuat dan penentu kebijakan, bakal lebih fokus menjalankan agenda politik dan membiarkan kebijakan ekonomi berjalan apa adanya.

Beberapa kebijakan bagus yang mandul karena tidak diawasi pelaksanaannya antara lain hilirisasi industri komoditas primer, seperti perkebunan dan pertambangan. Selain itu, juga kewajiban penggunaan biodiesel untuk mengurangi impor dan subsidi bahan bakar minyak. Kebijakan hilirisasi industri komoditas primer untuk menghentikan ekspor bahan mentah tahun 2014 tinggal isapan jempol karena sejauh ini masih banyak investor yang belum membangun industri pengolahan.

Pemerintah seharusnya mendorong pengembangan industri penghasil bahan baku untuk memasok kebutuhan industri pengolahan yang selama ini mengimpor. Penyerapan bahan baku produksi domestik akan meningkatkan kinerja industri, menekan impor, dan bisa mengurangi defisit neraca transaksi berjalan.

Strategi lain adalah dengan mewajibkan investor asing menyimpan keuntungan usaha di Indonesia atau menginvestasikan lagi untuk ekspansi di dalam negeri. Dengan demikian, pemerintah bisa mengoptimalkan neraca pendapatan melalui pengaturan repatriasi dana asing menggunakan kewenangan yang dimiliki secara transparan.

Implementasi kebijakan agar efektif berjalan dan berhasil sesuai sasaran membutuhkan kepemimpinan dan kapasitas birokrasi yang serius mengeksekusi kebijakan. Erani mencontohkan, setelah bertahun-tahun proyek angkutan publik, seperti mass rapid transit (MRT) terkatung-katung, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang baru menjabat setahun bisa mengeksekusinya.

”Seperti pedagang kaki lima di Tanah Abang, Jakarta, yang berhasil direlokasi ke tempat yang layak. Artinya, sesuatu kebijakan yang dijalankan sungguh-sungguh dengan komitmen penuh bisa berjalan,” kata Erani.

Kebijakan moneterKondisi pemerintah yang lemah dalam realisasi kebijakan ini, ujar Ryan Kiryanto, membuat kebijakan moneter menjadi lebih menonjol ketimbang fiskal dalam pengelolaan perekonomian nasional. Ryan mengatakan, kebijakan moneter memang tidak menyelesaikan persoalan.

Ryan melontarkan pertanyaan tentang apakah Bank Indonesia (BI) senada dengan pemerintah dalam melihat prospek ekonomi tahun 2014. Ryan mencontohkan kebijakan mobil murah.

”Kebijakan mobil murah akan menghasilkan kendaraan bermotor yang hemat BBM sekaligus akan meningkatkan kebutuhan BBM sehingga impor minyak akan naik. Pada saat bersamaan, BI ingin mengurangi defisit neraca berjalan,” kata Ryan.

Pemerintah juga menginginkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara BI ingin mengerem pertumbuhan agar ekonomi nasional tidak kepanasan (overheat). Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia kini masuk dalam rezim moneter ketat.

Langkah-langkah pemerintah dan bank sentral tersebut kemudian mengirimkan sinyal campuran kepada publik. Menurut Ryan, meski demikian, perekonomian nasional masih kokoh menghadapi ancaman krisis.

”Sampai akhir tahun, BI pasti akan menjaga kurs rupiah supaya kondisi ekonomi tetap bagus saat tutup buku. Demikian juga perbankan, akan tetap menjaga suku bunga sesuai permintaan nasabah supaya bisa menutup buku dengan baik,” kata Ryan.

Jaga sektor riil

Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam Musyawarah Nasional Real Estat Indonesia 2013, di Jakarta, Selasa (26/11), menegaskan, kinerja sektor riil harus dijaga tetap tumbuh di tengah kondisi ekonomi yang mulai mengalami pengetatan likuiditas. Keseimbangan sektor riil diperlukan sebagai penggerak tenaga kerja dan penopang pertumbuhan ekonomi nasional.

”Saya pastikan sektor riil tidak akan unbalanced (tak seimbang) yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi jadi rendah di bawah 6 persen dan pertumbuhan bisnis berkurang. Apabila (ketidakseimbangan) itu terjadi, akan terjadi pengangguran sehingga situasi ekonomi kita bertambah sulit,” ujarnya.

Kondisi ekonomi nasional tengah memasuki era pengetatan uang dan likuiditas (tight money policy) untuk mengantisipasi pelemahan ekonomi global terkait kebijakan Bank Sentral AS, The Federal Reserve, untuk pengurangan stimulus moneter dan kenaikan suku bunga Fed Rate pada tahun 2014.

Ia menambahkan, kalangan perbankan telah menyampaikan bahwa pelaku usaha perlu mengantisipasi pengetatan likuiditas. Sejumlah proses kredit akan dikaji ulang. Namun, pengetatan likuiditas jangan sampai menyebabkan sektor riil tidak tumbuh. Perusahaan yang tidak tumbuh cenderung akan mengurangi tekanan biaya dengan pemutusan hubungan kerja.

Tahun 2012, ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6 persen atau tertinggi di Asia Tenggara dan kedua tertinggi di Asia setelah China, sektor riil terbukti menjadi penopang pertumbuhan.

Pihaknya melihat ada dua sektor unggulan yang harus terus didorong kinerjanya, yakni properti dan otomotif. Kedua sektor ini harus dikawal agar tetap berkembang meskipun pertumbuhannya menurun. Sektor properti memiliki dampak berganda (multiplier effect) yang luar biasa karena menggerakkan 150 subsektor pendukungnya dan memanfaatkan komponen dalam negeri. Selain itu, juga padat modal dan padat karya.

Anggota Komisi XI DPR, Arif Budimanta, di Jakarta, Selasa, menegaskan, rencana pengurangan stimulus moneter AS justru bisa menjadi momentum untuk memperkuat fundamental ekonomi Indonesia. Salah satunya melalui pemanfaatan potensi simpanan domestik yang belum terakomodasi. Pasalnya, selama ini masih banyak pemilik dana yang memilih menyimpan dananya di luar negeri, bukan di perbankan dalam negeri.

Menurut Arif, kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan Indonesia ini baik, tetapi juga mengandung risiko yang cukup besar, terutama bagi sektor riil. (HAM/LKT/IDR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com