Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ebolakonomi, Ekonomi di Balik Wabah Ebola

Kompas.com - 02/09/2014, 22:17 WIB
Tabita Diela

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Wabah ebola bukan hanya masalah kemanusiaan, ekonomi juga berperan di balik penanganannya. Ebola, yang pertama kali ditemukan pada 1976, memang menjadi momok bagi penduduk dunia. Alasannya sederhana, hingga saat ini belum ada obat yang manjur.

Menurut kontributor The New Yorker, James Surowiecki, tidak tersedianya obat untuk menangani wabah ebola serta makin minimnya obat eksperimen yang digunakan untuk merawat pasien ebola bisa diprediksi lewat kecenderungan pendanaan pengembangan obat. Surowiecki menyebutkan dengan istilah "ebolakonomi".

"Ketika perusahaan farmasi tengah memutuskan di mana mereka akan mengalokasikan dana penelitian dan pengembangannya, secara alami mereka akan menimbang pasar potensial untuk masing-masing kandidat obat. Artinya, mereka punya insentif untuk menargetkan penyakit yang menjangkiti orang-orang lebih kaya (atau, paling tidak, mereka yang tinggal di negara maju), yang mampu membayar lebih mahal," ujarnya seperti dikutip dari New Yorker, Selasa (2/9/2014).

Surowiecki juga mengungkapkan, selain mereka yang kaya, perusahaan juga mampu mengalokasikan dana bagi obat dengan tingkat penjualan tinggi. Tidak perlu penting, yang penting laku keras dan selalu dikonsumsi masyarakat, seperti obat untuk menurunkan tingkat kolesterol.

Sistem semacam ini berhasil memasok keperluan penduduk di negara maju. Namun, sistem tersebut juga mengakibatkan rendahnya investasi pada obat-obatan bagi penyakit khusus. Apalagi, bagi penyakit yang hanya diderita penduduk negara miskin.

Penyakit-penyakit yang bermula di negara miskin dan menjangkit penduduk miskin ini kehilangan daya tarik di mata perusahaan farmasi besar. Meski tidak benar-benar ditinggalkan, penelitian dan pengembangannya bukan prioritas utama.

Surowiecki mencontohkan malaria dan TBC, dua penyakit yang akrab di telinga penduduk Indonesia. Sayangnya, meski sudah menewaskan dua juta orang tiap tahun, perhatian bagi dua penyakit ini lebih rendah ketimbang perhatian terhadap obat kolesterol.

Namun, Surowiecki mengungkapkan bahwa sistem yang sama tidak hanya merugikan masyarakat negara berkembang. Masyarakat negara maju juga terkena imbasnya.

Kini penduduk negara Barat membutuhkan obat manjur terhadap penyakit baru, penyakit-penyakit yang sudah kebal terhadap antibiotik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen, Rupiah Menguat Dekati Rp 16.000 Per Dollar AS

IHSG Ditutup Melonjak 1,36 Persen, Rupiah Menguat Dekati Rp 16.000 Per Dollar AS

Whats New
Amartha Promosikan Potensi UMKM Lewat The 2024 Asia Grassroots Forum

Amartha Promosikan Potensi UMKM Lewat The 2024 Asia Grassroots Forum

Whats New
Pengembangan Hub 'Carbon Capture and Storage', Pertamina Hulu Energi Gandeng ExxonMobil

Pengembangan Hub "Carbon Capture and Storage", Pertamina Hulu Energi Gandeng ExxonMobil

Whats New
SeaBank Indonesia Bukukan Laba Rp 52 Miliar di Kuartal I-2024

SeaBank Indonesia Bukukan Laba Rp 52 Miliar di Kuartal I-2024

Whats New
Bakal 'Buyback' Saham, Bos ADRO: Sebanyak-banyaknya Rp 4 Triliun

Bakal "Buyback" Saham, Bos ADRO: Sebanyak-banyaknya Rp 4 Triliun

Whats New
Luhut Dorong Maskapai Penerbangan Asing Beroperasi di Indonesia

Luhut Dorong Maskapai Penerbangan Asing Beroperasi di Indonesia

Whats New
Kementerian ESDM: 331 Perusahaan Industri Menghemat Energi pada 2023

Kementerian ESDM: 331 Perusahaan Industri Menghemat Energi pada 2023

Whats New
Home Credit Catat Volume Pembiayaan Rp 2,59 Triliun Sepanjang Kuartal I 2024

Home Credit Catat Volume Pembiayaan Rp 2,59 Triliun Sepanjang Kuartal I 2024

Whats New
Membangun Bisnis Kuliner bersama Boga Hiji

Membangun Bisnis Kuliner bersama Boga Hiji

Whats New
Di Tengah Penurunan Penjualan Unit Baru, Tren Kredit Kendaraan Tetap Tumbuh

Di Tengah Penurunan Penjualan Unit Baru, Tren Kredit Kendaraan Tetap Tumbuh

Whats New
RUPST, Emiten Boy Thohir ADRO Angkat Direktur Baru

RUPST, Emiten Boy Thohir ADRO Angkat Direktur Baru

Whats New
Ketegangan Geopolitik Timur Tengah Dinilai Bikin Saham-saham Berfundamental Bagus Terdiskon

Ketegangan Geopolitik Timur Tengah Dinilai Bikin Saham-saham Berfundamental Bagus Terdiskon

Whats New
Sri Mulyani Sebut Sedang Siapkan Anggaran Pemerintah Prabowo-Gibran

Sri Mulyani Sebut Sedang Siapkan Anggaran Pemerintah Prabowo-Gibran

Whats New
Nilai Ekspor Indonesia Naik Jadi 19,62 Miliar pada April 2024

Nilai Ekspor Indonesia Naik Jadi 19,62 Miliar pada April 2024

Whats New
Adaro Energy Bakal Tebar Dividen Final Rp 6,4 Triliun Tahun Ini

Adaro Energy Bakal Tebar Dividen Final Rp 6,4 Triliun Tahun Ini

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com