Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MEA Diberlakukan, Produsen Kertas Intip Peluang

Kompas.com - 08/12/2014, 09:40 WIB
Icha Rastika

Penulis


SINGAPURA, KOMPAS.com - Ketika banyak sektor kewalahan, produsen bubur kayu dan kertas Indonesia justru mengintip peluang dengan diberlakukannya kesepakatan masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun depan.

Menurut Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin, diberlakukannya MEA meningkatkan potensi Indonesia untuk memperbesar pangsa pasar di kawasan ASEAN. Selain di Afrika, sebut dia, pasar bubur kayu dan kertas ASEAN dan Tiongkok terus berkembang.

"Permintaan negatif di Amerika dan Eropa sehingga bisa disampulkan perkembangan pulp (bubur kayu) beralih ke Asia. Di Eropa tidak ada pertumbuhan tapi suplainya tetap, mereka kelebihan, maka suplainya beralih ke Asia," kata Kusnan dalam pertemuan dengan media di Singapura beberapa hari lalu.

Pemberlakuan MEA akan menghilangkan hambatan tarif di negara-negara ASEAN. Kendati demikian, menurut Kusnan, bea masuk 0 persen bukan barang baru bagi Indonesia. Sejak lama pemerintah telah menerapkan bea masuk 0 persen untuk produk bubur kayu dan kertas ketika negara lain memberlakukan bea masuk yang tinggi.

Ia juga memperkirakan angka impor produk bubur kayu dan kertas akan meningkat seiring diberlakukannya MEA. "Ya ada peningkatan impor yang pasti karena ke sini kan sudah 0 persen dan sudah mulai banyak diimpor juga ke dalam. Tapi sama, sama-sama bisa penetrasi, tergantung produk dan kompetitifness," ucap Kusnan.

Menurut dia, Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam industri bubur kayu dan kertas. Iklim Indonesia memadai sehingga menjadikan tanaman baku bisa dipanen dalam waktu singkat, yakni sekitar lima hingga enam tahun. Sementara itu, kata dia, negara beriklim sub tropis membutuhkan waktu 25 hingga 30 tahun untuk bisa panen. Selain itu, Indonesia memiliki lahan hutan yang luas untuk dioptimalkan.

Saat ini ada 10 juta hektar yang dialokasikan sebagai hutan produksi. Dari 10 juta hektar tersebut, menurut Kusnan, baru 5,5 juta yang ditanam. "Sehingga yang 10 juta itu pun belum ditanam maksimal," kata dia.

Di samping itu, dari segi geografis, Indonesia juga diuntungkan karena sangat dekat dengan pasar. Ia pun berharap pemerintah bisa mendukung pertumbuhan industri bubur kayu dan kertas melalui kebijakan yang bersahabat.

Kebijakan yang dianggap menghambat

Dalam kesempatan itu, Kusnan mengeluhkan beberapa kebijakan pemerintah yang dianggapnya menghambat pertumbuhan industri bubur kayu dan kertas. Salah satunya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang pengelolaan lahan gambut.

PP yang diterbitkan di ujung masa pemerintahan presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono ini dianggap mengancam keberlangsungan produksi bubur kayu dan kertas yang berasal dari kayu akasia.

"Kami memerlukan banyak dukungan dari pemerintah dalam bentuk peraturan, infrastuktur, dan environment (lingkungan) karena pemerintah harus dukung perusahaan HTI seperti kami. Dukung pulp and paper, jangan cuma ada LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang protes, kalau LSM bilang moratorium, (pemerintah) langsung moratorium," tutur Kusnan.

PP tersebut mengatur kriteria baku kerusakan lahan gambut berdasarkan muka air tanah di lahan gambut. Berdasarkan Pasal 23 Ayat 3 PP tersebut, ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila memenuhi dua kriteria, yakni muka air tanah di lahan tersebut lebih dari 40 senti meter di bawah permukaan gambut, dan atau tereksposenya sedimen berpirit dan atau kwarsa di bawah lapisan gambut.

Kusnan menilai, semua pemegang HTI akan berhenti beroperasi karena dengan menerapkan batas maksimal air 40 cm, semua pohon yang ditanam akan selalu tergenang air kemudian mati. "Akasia itu biasanya 70, diminta turun jadi 40 cm, itu akasia enggak bisa begitu, enggak bisa hidup akasianya nanti, padahal semua yang kami tanam itu akasia," kata Kusnan.

Mereka juga menilai kebijakan ini dibentuk tanpa sebelumnya dinegosiasikan dengan para pengusaha. Menurut dia, pola kebijakan pemerintah terkait industri pulp dan kertas yang kerap berubah-ubah ini cenderung merusak iklim investasi.

Ia pun membandingkan investasi di Indonesia dengan di negara lain seperti Tiongkok dan Brazil. "Lebih baik ke Brazil atau China. Begitu dikasih izin, dikelola sendiri selama 100 tahun, tidak ada perubahan peraturan sehingga tenang naro uangnya di hilir," kata Kusnan.

Untuk menghadapi PP 71 ini, Kusnan mengatakan bahwa pihaknya akan berdialog dengan Kementerian Kehutanan. Pihaknya meminta agar PP tersebut bisa direvisi.

Nilai ekspor Indonesia

Kusnan juga memaparkan, tahun 2013, Indonesia mengekspor 5,6 miliar dollar AS produk bubur kayu dan kertas ke berbagai negara. Pada tahun depan, ia memprediksi Tiongkok, Asia, dan Afrika masih mendominasi permintaan bubur kayu jenis bleach hardwood kraft pulp (BHKP) dengan pertumbuhan masing-masing 7,7 persen dan 2,2 persen.

Untuk RAPP sendiri, Kusnan menyampaikan bahwa kapasitas bubur kayu (pulp) yang dihasilkan perusahaannya ditargetkan mencapai 2,8 juta ton pada tahun ini.

Sumber bahan baku bubur kayu RAPP, kata dia, berasal dari konsesi hutan tanaman yang dikelola mandiri dan dengan perusahaan mitra.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com