Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Inilah Tantangan Besar CEO Baru Garuda Indonesia

Kompas.com - 15/12/2014, 06:00 WIB

Tetapi di dunia internasional, dengan policy yang berbeda, peta kompetisi yang berat juga telah “mematikan” banyak national flag carrier lainnya. Dalam hal inilah, filosofi pengambil kebijakan akan memainkan perannya. Apakah kita biarkan mereka mencari jalan sendiri (seperti yang dialami oleh Merpati Nusantara), atau dibimbing keluar oleh negara.

Malaysia memilih jalan yang kedua. Ini juga yang dilakukan pemerintah Singapura. MAS disuntik sebesar 1,8 miliar dollar AS dalam skema“Rebuilding The National Icon”.

PM Malaysia, Datuk Sri Najib Razak mendorong langkah Khazanah yang melakukan delisting saham MAS dari Bursa Malaysia dengan program perubahan besar-besaran ini. “All must do their part to support MAS,” ujarnya seperti dikutip harian New Strait Times akhir Agustus lalu. Ia seperti ingin mengatakan, “Hentikan semua keributan dan keonaran, jauhi prasangka, keluarlah dari coba-coba resistensi, lalu fokus pada perubahan yang lebih besar.”

Lantas, siapkah kita semua bersatu seperti yang terjadi di negeri yang belum demokratis di seberang selat itu? Saya kira inilah  tantangan BUMN Indonesia. Bising, penuh kecurigaan, banyak yang asal usul, peliknya kepentingan yang bermain, dan sulit saling percaya.

Medan Bisnis Airlines

Sekarang, mari kita bandingkan business landscape yang dihadapi Emirsyah Satar pada tahun 2005 saat mulai memimpin Garuda Indonesia. Business landscape itu ditandai dengan munculnya armada-armada penerbangan baru yang menawarkan tarif yang murah. Ini berarti industrinya menarik.

Tetapi di dalam Garuda sendiri, sejuta masalah menghadangnya untuk maju: Tingkat ketepatan waktunya rendah (di bawah 85 persen), kecurangan banyak dilakukan orang-orang dalam yang bekerjasama dengan penguasa, load factor-nya di bawah rata-rata industri (±60 persen), total hutangnya mencapai 845 juta dollar AS dengan cash flow negatif (ini menandakan secara teknis ia telah bangkrut), ditambah ia baru saja terkena musibah ketika aktivis HAM, Munir tewas dalam pesawat rute Jakarta-Amsterdam.

Di luar itu, dunia sedang dilanda kecemasan terhadap ancaman terorisme. Dan Indonesia dinilai Barat menjadi salah satu sarang terorisme. Selain itu, perhatian terhadap keamanan penerbangan kita pun dinilai dunia kurang. Jadi pantaslah kalau semua armada nasional dilarang terbang memasuki benua Eropa.

Situasinya tentu berbeda dengan hari ini. Garuda servisnya membaik, ketepatan waktu dan load factor-nya relatif bagus, kru juga profesional, produktivitas karyawannya tinggi, usia pesawatnya relatif muda, jumlah pesawatnya berkembang dari 49 (2006) menjadi 140 (2013). Ia juga menjadi airline terbaik nomor 7 dunia versi Skytrax di bawah Cathay, Qatar, Singaore Airlines, Emirates, Turkish dan ANA. Ia bahkan lebih baik dari Etihad dan Lufthansa.

Lantas apa masalah yang bakal dihadapi Arif Wibowo kalau kondisi internalnya sudah membaik?

Jawabnya adalah menyetel ulang antara apa yang terjadi di luar dengan kondisi internal. Inilah yang kita sebut sebagai strategic fit, yaitu membuatnya menjadi fit antara internal dan eksternalnya.

Dalam presentasi INACA belum lama ini disebutkan bahwa harga avtur yang harus dibayar airlines domestik lebih tinggi 5-6 persen dari pesaing-pesaingnya, sementara biaya ini menyangkut 40-50 persen dari total biaya operasional airlines. Kalau biaya leasing pesawat mencapai 10-15 persen, dan biaya perawatan sebesar 8-10 persen, maka jelas ruang bagi Arif untuk memperbaiki kinerja Garuda bukan soal gampang.

Ia harus bekerja sama dengan stakeholders-nya untuk memperbaiki fundamental ekonomi mikro yang dihadapi industri ini, baik itu di otoritas kebandaraan, energi (Pertamina), maupun pembuat kebijakan (Menko Perekonomian dan Kementerian Perhubungan).

Makanya saya katakan ruangnya sangat sempit. Pilihannya hanya dua: kita berubah beramai-ramai, atau kembali ke armada "kancil" yang gesit, efisien, menjadi low cost carrier dengan bertarung menghadapi anaknya sendiri yaitu Citilink.

Tetapi siapa tahu masih ada alternatif ke 3, yaitu strategic fit tadi. Siapa tahu Tuhan membukakan mata mereka menemukan cara-cara baru, jurus pamungkas. Dirut baru biasanya banyak akal karena kariernya masih panjang. Kecuali yang tersisa di dalam sangat enggan berubah.


ist Prof Rhenald Kasali

Prof. Rhenald Kasali dalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of Illinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak 4 kali, dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasari entrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com