Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Perlu Tunjukkan Ketegasan

Kompas.com - 29/03/2015, 16:49 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terus terjadi. Rupiah tetap tembus di atas Rp 13.000 per dollar AS. Kondisi ini tidak semata-mata dipengaruhi ekonomi global, tetapi juga karena kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah mulai menurun.

 ”Pemerintah, hingga sekarang, belum mengambil tindakan tegas. Bahkan sebaliknya, mereka cenderung menyepelekan kondisi pelemahan nilai tukar ini,” ujar Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono, dalam diskusi Teras Kita ”Rupiah dan Ketahanan Politik”, di Solaria, Mal FX, Jakarta, Sabtu (28/3/2015).

Diskusi hasil kerja sama Kompas, Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama), dan Sonora Network tersebut juga menghadirkan pembicara Ketua Dewan Pimpinan Harian Asosiasi Pengusaha Indonesia Johnny Darmawan dan Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta.

Tony menyebutkan, dari dalam negeri, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga dipengaruhi berlarut-larutnya kegaduhan politik dan hukum, terutama kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Hingga pekan lalu, rupiah cenderung melemah. Berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah Rp 13.003 per dollar AS (Kamis) dan melemah 61 poin menjadi Rp 13.064 per dollar AS pada Jumat pekan lalu.

Tony mengingatkan, kepercayaan masyarakat adalah penyokong (collateral back up) yang berpengaruh besar terhadap nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. ”Bentuk collateral back up lainnya adalah cadangan devisa. Akan tetapi, Indonesia hanya mempunyai 115,527 miliar dollar AS dan utang sebesar 280 miliar dollar AS. Apakah itu cukup kuat?” kata Tony.

Cadangan devisa akan ampuh menahan pelemahan mata uang rupiah terhadap dollar AS apabila cadangan devisa seperti Singapura. Cadangan devisa Singapura adalah 270 miliar dollar AS. Jumlah tersebut sangat besar meskipun penduduk Singapura hanya enam juta jiwa.

Saat ini, menurut Tony, kepercayaan masyarakat mulai menurun. Mereka memilih menukarkan rupiah ke dollar AS. Selain itu, mereka memutuskan untuk menyimpan uang lebih banyak ke bank. ”Presiden Joko Widodo terlihat gamang untuk segera mengambil keputusan. Tiada upaya ekspresif untuk mengatasi situasi ini,” ujar Tony.

Sikap Presiden kini, dia nilai, berbeda sekali saat tiga bulan setelah pelantikan 20 Oktober 2014. Presiden terlihat tangkas, tanggap, cepat, dan tepat memutuskan masalah.

Di sisi lain, kinerja kementerian dan lembaga juga parsial. Mereka cenderung melakukan terobosan-terobosan yang jarang sesuai dengan masalah yang dialami masyarakat. Mereka tidak jarang pula hanya ingin menyelamatkan posisi politik sendiri.

 ”Saya kira perbaikan ekonomi Indonesia adalah kesadaran bersama. Jadi, Presiden dan jajaran pemerintah lainnya harus kolektif mencari upaya jalan keluar,” kata Tony.

Senada dengan Tony, Johnny berharap pemerintah segera menyelesaikan kegaduhan politik dan hukum yang mengganggu kestabilan ekonomi.

Johnny menambahkan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan pemerintah. Ini bukan tanggung jawab Presiden Joko Widodo semata. Johnny sependapat dengan Tony bahwa kestabilan nilai tukar rupiah merupakan kerja bersama kementerian, termasuk Polri dan KPK. ”Segera cepat selesaikan kegaduhan politik agar sentimen kepercayaan masyarakat kembali menguat,” lanjut Johnny.

Langkah konkret

Johnny menyampaikan, langkah konkret yang harus diambil pemerintah harus fundamental dan memiliki peta dasar terarah. Peta tersebut perlu bersifat jangka pendek dan jangka panjang.

”Dulu, pemerintah bisa mengandalkan komoditas sebab permintaan di pasar global bagus. Namun, situasi sekarang berbeda. Komoditas penopang ekspor turut melemah seiring pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,” tutur Johnny.

Sebagai contoh, harga komoditas unggulan seperti karet turun 74 persen dari puncaknya pada November 2014. Demikian pula harga batubara melorot 53 persen dan harga tembaga turun 32 persen (Kompas, 19/3).

Untuk jangka panjang, momentum pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS seharusnya menjadi titik dasar pemerintah untuk fokus terhadap pembangunan industri manufaktur. Sektor ini dinilai dapat memberikan kontribusi yang lebih optimal terhadap pertumbuhan ekonomi.

Menurut data Kementerian Perdagangan (Januari 2015), industri manufaktur belum memberikan sumbangan berarti terhadap neraca perdagangan Indonesia. Nilai ekspor nonmigas Indonesia, misalnya, hanya 11,2 miliar dollar AS. Nilai ini menurun 6,2 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2014.

Lebih jauh, menurut Johnny, pemerintah perlu menyiapkan sarana dan prasarana penunjang kegiatan industri manufaktur. Infrastruktur adalah kunci agar industri ini bisa berkembang. Infrastruktur yang dimaksud bisa meliputi jalan raya, pelabuhan, listrik, dan bandar udara. Jika itu dilakukan, transportasi dan proses produksi manufaktur mampu berjalan optimal.

Tutum menambahkan, untuk memperkuat industri manufaktur di Indonesia, pemerintah juga harus menggenjot pemanfaatan bahan baku dari dalam negeri. Tiga kementerian, yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Perdagangan, telah menetapkan kewajiban tingkat komponen dalam negeri untuk barang elektronik, seperti telepon seluler, yaitu sebanyak 40 persen.

”Itu seharusnya bisa 100 persen sebab Indonesia sebenarnya mampu memproduksi bahan baku sendiri,” kata Tutum.

Untuk jangka pendek, pemerintah perlu segera menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. ”Kesempatan kerja harus diperluas agar bisa mengantisipasi banyaknya penganggur karena ketidakstabilan ekonomi,” kata Johnny.

Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah penganggur terbuka, menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan selama kurun waktu 2004-2014, turun. Total penganggur terbuka pada November 2004 adalah 10.125.796 orang dan pada Februari 2014 terdapat 7.147.069 orang penganggur terbuka.

Meski turun, jumlah penganggur terbuka masih tetap didominasi mereka yang berlatar belakang pendidikan SD, SLTP, SLTA umum, dan SLTA kejuruan. Jumlahnya, dari 2004 ke 2014, tetap berkisar di atas satu juta orang. Di sisi lain, penganggur terbuka dengan latar belakang pendidikan diploma ataupun universitas tetap menyisakan persoalan. Jumlah penganggur selama kurun waktu 2004 hingga 2014 adalah 200.000-700.000 orang.

”Nasib masih banyaknya penganggur terbuka adalah pekerjaan pemerintah. Apakah Indonesia mau menciptakan lebih banyak penganggur?” ujar Johnny. (MED)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com