Rekan saya, CEO yang saya temui di pesawat Lufthansa tadi, mengeluhkan tentang negerinya. "Orang Indonesia baik-baik, bekerja di Indonesia menyenangkan. Kalau diajari sedikit, bangsa Anda cepat belajar. Pikiran dan tindakannya terstruktur. India tidak! Di India, politisi selalu mengganggu pemerintah. Irama kerja buruh tidak terstruktur. Pertumbuhan ekonomi terlalu cepat, membuat persaingan menggila. Rakyatnya makin konsumtif dan materialistis." Kalimat itu ia ucapkan berkali-kali.
Susah? kerja lebih profesional!
Di Italia, guide saya, seorang kepala keluarga berusia muda, mengantar saya melewati ladang-ladang anggur di Tuscany, menolak menemani makan siang yang disajikan mitra kerja Rumah Perubahan di rumahnya yang indah. "Biarkan saya hanya makan salad di luar. Saya dilarang makan enak saat mengemudi," ujarnya.
Kepada putra saya, ia mengajari. "Saat bekerja, kita harus bekerja, harus profesional, gesit, dan disiplin. Cari kerja itu sulit, mempertahankannya jauh lebih sulit. Kita harus lebih kompetitif dari orang lain kalau tetap ingin bekerja," ujarnya.
Di dalam vineyard-nya yang indah, rekan saya menyajikan aneka makanan Italia yang lezat, lengkap dengan demo masak dan ritual mencicipi wine yang dianggap sakral. Di situ, mereka berkeluh kesah tentang perekonomian Eropa yang terganggu Yunani belakangan ini. Lagi-lagi, mereka menyebutkan bahwa kehidupan yang nyaman itu ada di Pulau Dewata, Bali; dan Pulau Jawa.
Ketika saya ceritakan bahwa kami di Indonesia juga sedang susah, dia mendengarkan baik-baik. "Dari dulu kalian terlalu rendah hati, selalu merasa paling miskin dan paling susah. Ketika kalian sudah menjadi bangsa yang kaya, tetap merasa miskin. Namun, saya tak pernah melihat bangsa yang lebih kaya, lebih merdeka, lebih bahagia daripada Indonesia." Saya pun terdiam.
Di Singapura, saya mengirim berita tentang komplain terhadap masalah dollar AS dan ancaman kesulitan kepada rekan lain yang sudah lima tahun ini berkarier di sana. Ia pun menjawab ringan, "Suruh orang-orang itu kerja di sini saja."
Tak lama kemudian, ia pun meneruskan. "Kalau sudah kerja di sini, baru tahu apa artinya kerja keras dan hidup yang fragile."
Saya jadi teringat curhat habis-habisan yang ia utarakan saat saya berobat ke negeri itu. "Mana bisa kongkow-kongkow, main Facebook, nge-tweet saat jam kerja? Semua harus disiplin, berani maju, kompetitif, dan siap diberhentikan kalau hasil kerja buruk. Di negeri kita (Indonesia), saya masih bisa bersantai-santai, karyawan banyak, hasil kerja tidak penting, yang penting bos tidak marah saja," ujarnya.