“Struktur industri kita seperti tukang jahit, lebih banyak komponen impornya. Jadi kalau kurs rupiah tertekan, ekspor RI juga terpukul,” kata Fuad dalam sebuah diskusi, di Jakarta, Rabu malam (26/8/2015).
Fuad mengatakan, memang seharusnya ketika terjadi gejolak rupiah, para pelaku usaha berorientasi ekspor mendapat keuntungan. Akan tetapi yang terjadi, di sektor industri manufaktur banyak sekali komponen impor. Di sisi lain, menjual hasil mentah pun tak semenarik ketika krisis 1998 silam. Hal tersebut disebabkan harga-harga komoditas dunia saat ini tengah alami penurunan.
“Tahun 98, saya ingat betul petani kakao senang. Ketika dollar AS 15.000, mendadak mereka menjadi kaya,” kenang Fuad.
Salah satu industri yang kini sedang tertekan depresiasi kurs adalah industri ban. Ketua Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia, Aziz Pane dalam diskusi sama mengatakan, industri ban amat terpuruk dengan kurs rupiah yang menembus level 14.000 per dollar AS.
“Local content industri ban hanya 15 persen. Oleh karena itu, dengan dollar AS naik, walaupun orientasinya ekspor, tapi kita banyak impornya. Artinya, bisnisnya bisa anjlok (gara-gara kurs),” sebut Aziz.
Aziz menambahkan, perlambatan ekonomi sangat dirasakan 15.000 pelaku usaha industri ban. Perlambatan di sektor lain, seperti kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, dan pertambangan memberikan dampak signifikan terhadap lesunya permintaan ban.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati membenarkan pengakuan pelaku usaha, bahwa industri RI masih banyak didukung oleh impor.
Menurut Enny, perang mata uang hanya bisa dilakukan oleh negara yang manufakturnya tidak tergantung pada impor. “Indonesia penghasil karet alam terbesar. Bagaimana mungkin, struktur biaya produksinya dari dalam negeri hanya 15-17 persen? Ini kan artinya kita ekspor komoditas, lalu untuk membuat ban harus impor lagi,” ucap Enny.
baca juga: SBY: Saya Masih Percaya Pemerintah Bisa Atasi Gejolak Ekonomi
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.