Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pertumbuhan Ekonomi 2015 Terendah dalam Enam Tahun Terakhir

Kompas.com - 07/02/2016, 18:28 WIB
Estu Suryowati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com – Pertumbuhan ekonomi Indonesia secara kuartalan memang cenderung meningkat, dari 4,73 persen pada triwulan III 2015 menjadi 5,04 persen pada triwulan IV 2015.

Artinya terjadi percepatan geliat ekonomi pada triwulan IV 2015 dibandingkan triwulan-triwulan sebelumnya. 

Namun, jika dilihat secara tahunan, pertumbuhan  ekonomi Indonesia terus melambat.

Mengacu catatan Badan Pusat Statistik (BPS),  pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 sebesar 4,79 persen merupakan yang terendah enam tahun terakhir.

BPS Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2010 - 2015

Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, perlambatan ekonomi sebenarnya tidak hanya dialami Indonesia.

Lesunya perekonomian global pada beberapa tahun terakhir membuat pertumbuhan ekonomi banyak negara melambat.

“Cuma, pertumbuhan ekonomi Indonesia terlalu jauh di bawah potensinya. Harusnya bisa di kisaran 5 persen,” kata Enny kepada kompas.com, Minggu (7/2/2016).

Enny mengatakan, penyebab utama perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 adalah anjloknya konsumsi rumah tangga.

Sepanjang 2015, konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,96 persen.

Angka tersebut lebih rendah dibanding dua tahun sebelumnya, yang mencapai 5,43 di tahun 2013 dan 5,16 pada tahun 2014.

“Biasanya konsumsi rumah tangga kan tumbuhnya di atas 5 persen," ujar Enny.

Anjloknya konsumsi rumah tangga, kata Enny tidak terlepas dari kenaikan harga pangan.

Mahalnya harga pangan membuat masyarakat mengerem belanjanya.

Padahal 50 - 60 persen masyarakat adalah golongan menengah ke bawah yang kemampuan konsumsinya atau daya belinya sangat rentan terhadap fluktuasi harga pangan.

“Total inflasi tahun 2015 memang hanya 3,35 persen. Namun, inflasi makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 6,42 persen, serta inflasi bahan makanan 4,93 persen,” kata Enny lagi.

Sayangnya, kenaikan harga pangan tidak juga mendongkrak daya beli produsen atau petani.

Pasalnya, kenaikan harga pangan diyakini Enny, hanya dinikmati level pedagang.

Jadi, kata Enny, hal ini lah yang menyebabkan penurunan daya beli, sekaligus memperlebar kesenjangan.

Dipicu Kebijakan Kementan 

Lebih jauh Enny mengatakan, kenaikan harga pangan yang hanya dinikmati oleh pedagang, disebabkan buruknya tata niaga.

“Tata niaga ini memang masalah klasik. Tapi masalah ini diperparah oleh kebijakan kementerian teknis yang terlalu percaya diri,” kata dia.

Sebelum tahun 2015, imbuh Enny, karut-marutnya tata niaga lebih banyak disebabkan oleh Kementerian Perdagangan yang banyak membuat kebijakan impor tidak tepat.

“Tahun 2015, persoalan justru banyak dipicu oleh Kementan, sehingga memicu fluktuasi harga,” tegas Enny.

Enny mencontohkan soal tata niaga beras. Berulang kali kementerian di bawah komando Andi Amran Sulaiman itu menegaskan, pasokan beras dalam negeri cukup.

Padahal realitasnya, komoditas tersebut tidak ada di lapangan.

“Sehingga kita tidak antisipasi dengan impor, misalnya. Dampaknya, terjadi fluktuasi harga," katanya. 

"Jagung juga demikian, malah minta distop impornya. Sehingga menyebabkan fluktuasi di harga pakan, yang ujungnya melambungkan harga daging ayam,” pungkas Enny.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com